Fakta menunjukan, sampai dengan era SBY selesai, Indonesia belum layak dIsebut sebagai negara maritim karena perekonomian, industri, serta perniagaannya belum betul-betul mengoptimalkan potensi laut. Padahal Potensi kemaritiman Indonesia sangat terkait dengan keuntungan posisi strategis Indonesia, sayangnya hal ini justru dinikmati Singapura dikarenakan Singapura mampu memberikan layanan yang memuaskan bagi kapal dagang yang melintas di perairan Nusantara.
Jika kita melihat data Badan Pangan Dunia (FAO), tutur Yudi, nilai perekonomian dari laut Indonesia diperkirakan mencapai 3 triliun dolar AS sampai 5 triliun dolar AS jika dengan kurs Rp. 13.000 per dolar AS maka setara sekitar Rp 39.000 triliun sampai Rp 65.000 triliun per tahun. Sungguh satu angka 20 - samai 30 kali nilai APBN kita saat ini. Maka sangat tepat ketika Jokowi menggantikan rezim SBY, Presiden Jokowi menetapkan visi kemaritiman Indonesia.
Salah satu kekayaan yang terkandung pada laut Indonesia adalah sumber daya perikanan yang meliputi, perikanan tangkap di perairan umum seluas 54 juta hektar dengan potensi produksi 0,9 juta ton/tahun. Budidaya laut terdiri dari budidaya ikan (antara lain kakap, kerapu, dan gobia), budidaya moluska (kekerangan, mutiara, dan teripang), dan budidaya rumput laut, budidaya air payau (tambak) yang potensi lahan pengembangannya mencapai sekitar 913.000 ha, dan budidaya air tawar terdiri dari perairan umum (danau, waduk, sungai, dan rawa), kolam air tawar, dan mina padi di sawah, serta bioteknologi kelautan untuk pengembangan industri bioteknologi kelautan seperti industri bahan baku untuk makanan, industri bahan pakan alami, benih ikan dan udang serta industri bahan pangan. Besaran potensi hasil laut dan perikanan Indonesia mencapai 3000 triliun per tahun, akan tetapi yang sudah dimanfaatkan hanya sekitar 225 triliun atau sekitar 7,5% saja.
Sejalan dengan potensi besarnya perikanan, yang sudah barang tentu mampu menyediakan proteain hewan yang sangat diperlukan untuk memenuhi tuntutan gizi, untuk tumbuh, berkembang dan kualitas SDM bangsa Indonesia, maka upaya pemanfaatan ikan sebagai sumber utama protein hewan menggantikan daging (terutama sapi) yang saat ini sangat tergantung pada inport, adalah upaya yang realistik dan perlu mendapatkan dukungan semua pihak.
Banyak manfaat ikan yang bisa didapatkan jika mengkonsumsinya secara rutin. Apapun jenis ikannya, karena lemak yang terdapat dalam ikan adalah lemak tak jenuh, hal ini membuatnya mudah untuk bisa dicerna oleh tubuh dengan ba ik. Manfaat itu terkait dengan kandungan nutrisi dari ikan seperti, Vitamin : D dan B2 (riboflavin), Kalsium, Fosfor, zat besi, seng, yodium, magnesium, dan kalium.
Diantara manfaat dari mengkonsumsi ikan adalah mencegah terjadinya penyakit jantung. Menurut sebuah penelitian, suku bangsa Eskimo yang bertempat tinggal di Greenland memiliki prevalensi dari penderita penyakit jantung yang sangat rendah. Hal serupa juga terjadi di Jepang, disana jarang sekali ditemukan orang yang menderita penyakit jantung koroner. Apakah yang menyebabkan semua itu terjadi? Rahasianya sederhana saja, orang Eskimo dan orang Jepang suka sekali makan ikan.
Sashimi adalah makanan Jepang dengan bahan utama ikan segar dalam keadaan mentah. Pada umumnya, orang Jepang dan orang Eskimo suka makan ikan dalam jumlah besar sehingga risiko untuk menderita penyakit kardiovaskuler atau penyakit jantung bisa lebih ditekan, khususnya untuk menderita penyakit jantung koroner. Dalam sehari, orang Eskimo mengkonsumsi ikan sekitar 300-400 gram dan orang Jepang biasa mengkonsumsi 100-200 gram ikan setiap harinya.
Manfaat lain adalah untuk meningkatkan kecerdasan, kita tentu Pernah mendengar istilah omega 3, satu senyawa biokimia yang sangat ampuh sebagai nutrisi yang dapat mencerdaskan otak. Untuk mencegah munculnya anak-anak bangsa yang cerdas, kolonial Belanda disinyalir melakukan kampanye negatif terkait makan ikan. Kalimat “anak kecil jangan makan ikan nanti cacingan”, masih penulis dengar bahkan hingga sekarang. Padahal memang pertumbuhan kecerdasan sangat optimal terjadi pada usia emas 1 - 5 tahun.
Oleh karena masih ada stigma pada masyarakat terkait dengan makan ikan, maka kampanye makan ikanpun hanya ditanggapi sinis oleh pihak tertentu, seakan-akan hanya akhibat harga daging sapi mahal, padahal realitas tidak demikian. Melihat stigma demikian, maka kampanye makan ikan harus lebih diefektifkan, termasuk melalui even-even yang daya “siarnya kuat”, sepert bisa melalui sebuah festival makanan berbahan dasar ikan, dan juga wisata kampung ikan/kampung nelayan.
Terkait dengan wisata kampung nelayan, seperti yang penulis ungkapkan pada edisi beberapa bulan lalu yang berjudul “Jika Saya Ahok”, maka dari pada melakukan Rusunisasi masyarakat nelayan karena menjadi korban reklamasi, yang pada ahirnya akan menciptakan problematika sosial yang tidak terkendali, maka kampung-kampung nelayan yang ada ditata menjadi kampung nelayan yang asri, sebagai upaya menyerap wisatawan mancanegara atau domestik.
Dengan cara kampanye-kampanye demikian, selain kita membudayaan bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari untuk makan ikan dengan penuh kesadaran, juga menciptakan lapangan kerja inovatif bagi masyarakat nelayan, yang ujung-ujungnya adalah dapat berkonstribusi positif bagi upaya meningkatan pendapatan daerah atau nasional.