Telah dimahfumi bersama, bahwa pendidikan menempati posisi dan makna strategis bagi sebuah negara. Posisi strategis itu terkait dengan fungsi pendidikan di dalam membangun jati diri bangsa (nation charakter building) yang dalam konteks Indonesia berarti membangun karakater pancasila bagi warga negaraanya. Fungsi lainnya adalah untuk mempersiapkan generasi penerus yang merupak sumber daya insani (SDM) dan kepemimpinan nasional masa depan untuk terus mengupayakan terwujudnya cita-cita nasional.
Cita cita nasional, sebagaimana termaktub dalam alenia ke empat mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 itu tidak akan pernah terwujud tanpa adanya insan-insan Indonesia yang memiliki komitmen tinggi pada cita-cita kemerdekan Republik Indonesia. Cita-cita itu tidak akan pernah diperjuangkan dan diraih bangsa Indonesia jika kita tidak memilik generasi penerus bangsa yang memiliki integritas Nasional.
Menurut Myron Weiner , yang dimaksud dengan integritas nasional adalah proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial ke dalam satu kesatuan wilayah, dalam rangka pembentukan suatu identitas nasional. Terkait dengan hal itu, maka integritas Nasional Indonesia merupakan hasrat dan kesadaran untuk bersatu sebagai suatu bangsa, menjadi satu kesatuan bangsa secara resmi, dan direalisasikan dalam satu kesepakatan atau konsensus nasional.
Terkait dengan posisi dan makna pentingnya pendidikan bagi bangsa dan negara maka proses membangun hasrat dan kesadaran sebagai suatu bangsa harus dapat dijalankan melalui pendidikan. Pengejawantahannya adalah pada pelaksanaan pembelajaran itu sendiri. Pembelajaran yang dilakukan guru harus berbasis pada upaya membangun intgritas nasional atau dalam kata lain kita harus menerapkan National Integrity Based Learning.
Guru dalam tugas pembelajarannya, mulai dari perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran hingga evaluasi pembelajaran termasuk penilaiannya harus berpijak pada upaya membangun kesadara sebagai satu bangsa Indonesia. Konsep ini menuntut dilakukannya berbagai perubahan dalam pelaksanaan pendidikan terutamanya pendidikan formal dari SD hingga perguruan tinggi.
Perubahan itu bisa dari proses penerimaan/recruitment peserta didik/mahasiswa, hingga cara penilaian terhadap hasil evaluasi pendidikan itu sendiri. Proses rekruitmen peserta didik/mahasiswa yang selama ini menggunakan pola seleksi, yang pada ahirnya hanya menjadi sekat-sekat pemisah diantara anak anak bangsa, seperti fenomena adanya sekolah unggulan dan non unggulan pada waktu lalu, harus diubah menjadi recruitmen yang inclusif terhadap seluruh anak-anak bangsa yang memiliki hak memperoleh pendidikan yang sama.
Jadikan kelas merupakan miniatur-miniatur Indonesia dengan berbagai diversitasnya, perbedaannya termasuk dalam perbedaan tingkat intelektualitas, latar belakang sosial ekonomi dan perbedaan-perbedaan lainnya. Kelas harus menjadi miniatur Indonesia, dimana memungkinkan yang kuat dan lemah saling asah,asih dan asuh.
Demikian juga guru dalam melaksanakan penilaian, jika selama ini guru (sekolah) cenderung memberi nilai ke murid-murid yang hanya mempertimbangkan kepentingan peserta didik sekolah itu, sehingga harus memberi nilai setinggai-tingginya, agar dapat lulus UN atau tembus SMPTN (jalur Undangan), hal itu harus dihentikan karena kita harus berfikir, bahwa dengan memblow up nilai peserta didik kita, berarti juga berusaha menyingkirkan peserta didik dari sekolah lain dalam seleksi memperebutkan bangku PTN faforitnya.
Guru harus memberi nilai secara jujur kepada peserta didik di sekolahnya, sehingga ketika harus dicari yang terbaik dari peserta didik seluruh Indonesia, untuk keperluan tertentu misalanya, akan diperoleh peserta didik terbaik yang yang sesungguhnya. Bukan peserta didik dengan nilai-nilai “mark up” dari gurunya, yang kadang sudah diawali sejak penyusunan KKM (kriteria ketuntasan minimal) sejak awal. Oleh karena itu, perlu pengendalian KKM.
Penentuan KKM yang selama ini mempertimbangkan nilai Intake, tingkat kerumitan materi, kemampuan guru, Sarana dan prasarana Perpustakaan dan laboratorium, harus dikendalikan melalui audit pendidikan yang jelas. Komponen intake memang diawali dari rerata nilai input peserta didik, Tingkat kerumitan materi perlu dilakukan perhitungan secara detail (bisa melalui analisis butir soal UKG dengan asumsi persentase pencapaian butir soal menunjukan tingkat kerumitan indikatornya), Kemampuan guru, bisa diperoleh dari capain guru bersangkutan pada UKG, sedang skor sarana dan prasarana harus sesuai dengan hasil audit resmi dari kemendikbud sesuai bidang sarana dan prasarana bersangkutan.
Drengan pengendalian berbagai faktor penentu KKM itu, maka KKM yang ditentukan sekolah tidak jor-joran. Karen Kriteria ketuntasan Minamal biaqsanya juga menjadi nilai minimal yang diberikan guru (biasanya untuk kelompok paling bawah), maka jika KKM tidak dikendalikan ada kecenderungan memberikan nilai pada peserta didik secara jor-joran, ini tentu saja akan merusak obyektifitas persaingan terutama seleksi yang ,menggunakan nilai raport.