Ketika seseorang yang masih sering berbuat hilaf (dosa) menghadap Rasulullah SAW dan melapor berbagai kehilafan yang belum dapat ditinggalkannya, Rasulullah menegaskan bahwa yang terpenting dia jujur !. Tarbiyah dari kisah ini sesungguhnya adalah bahwa kejujuran sangat penting, dan di atas semuanya.
Perbuatan khilaf dan dosa apapun akan mudah dilaksanakan ketika ita sudah meninggalkan kejujuran itu. Kejujuran saat ini menjadi hal yang begitu langka !. Imbasnya, berbagai manipulasi, korupsi, dan tidakan melanggar hukum lainnya terjadi begitu menggebu. Akar dari semuanya adalah ketidak jujuran sebagai pangkal tolaknya. Tidak jujur dengan realitas kemampuan siswa yang ada, mendorong kita untuuk memanipulatif prestasi belajar siswa untuk memenuhi ambisi prestise kita dll.
Tergetilitik dengan pertanyaan retoris seorang kolega yang tidak puas dengan realitas kebocoran ujian yang setiap teahun terjadi, penulis mencoba memberikan jawaban mengapa seorang oknum membocorkan ujian yang semistinya dijaga kerahasiaannya agar kita mendapat data yang valid sehingga dapat dijadikan landasan merumuskan kebijakan pendidikan ke depan ?
Bukankah setiap komponen yang terlibat dalam masalah ujian telah menandatangani acta integritas untuk menjaga “kesucian ujian” ? Apaakah akta itu juga hanya pepesan kosong sebagaimana sumpah-sumpah jabatan yang telah diucapkannya ? sangat panjang memamng rumusan masalah yang dapat diajukan, demikian juga hipotesis hipotesis nya.
Menjawab mengapa seorang oknum yang terlibat dalam pelaksanakan ujian melakukan pembocoran berarti mengungkapkan motif akan perilaku menyimpang yang seorang oknum lakukan. Menurut hemat penulis ada beberapa motif dari pelaku pembocoran tergantung dari status jabatan struktural maupun fungsional. Secara garis besara beberapa motif ini bisa saja menjadi daya dorong seorang oknum melakukan pembocoran. Prestise, ekonomi, belas kasihan yang salah tempat atau berbagai perpaduan diantara motif-motif itu. Beberapa hal akan diterangkan secara singkat melalui tulisana ini.
Prestise, nama harga diri, motif ini sangat mungkiin mendorong kebocoran ujian, motif ini bisa saja dilakukan oleh pejabat/birokrat yang bermental ABS (Asal Bapak Senang). Motif ini sangat mungkin tumbuh subur di daerah-daerah dimana pemimpinnya ambisius, dan sangat menekan. DKI Jakarta, dengan pemimpin berkarakter tak mau tahu, sangat memungkinkan tumbuhnya perilaku demikian, karena pejabat tidak ingin menghadapi “masalah” dengan semprotan oknum pemimpin ketika DKI Jakarta memperoleh nilai atau tingkat kelulusannya tidak mencapai sebagaimana ditargetkankan pemetintahnya.
Bagi seorang pejabat di lingkungan pedidikan, nilai atau peringkat capaian prestasi ujian daerahnya adaah prestise yang harus dipertaruhkan. Oleh karenanya, ujian dengan label apapun campur tangan pejabat dalam masalah itu tidak pernah lepas Sebagai Guru yang sudah mengalami berbagai abel ujian sejak tahuun 90-an, penulis dapat mengamati langsung apa yang terjadi dengan itu semua.
Pada era Ebtanas di tahun sembilan puluhan kebijakan kakandepdikbud suatu daerah dapat menginterfensi proses kelulusan agar tingkat kelulusan tidak jeblok. Ketika NEM (nilai ebtanas murni) rata-rata jatuh, maka atas “petunjuk” kakandepdikbud, norma kelulusan ditentukan dengan menurunkan indek untuk nilai Ebtanas (n), apalagi jika pengkatrolan komponen nilai p dan q (semester 5 dan 6) sudah mentok dan masih banyak yang tidak lulus.
Pada era UN dimana momponen kelulusannya ditentukan oleh nilai Akhir sekolah dan nilai Ujian Nasaional yang tidak boleh kurang dari 5.5, maka melalui konsultasi-konsultasi dengang pengawas biasanya menghasilkan sepakatan pengkatrolan nilai ahir sekolah. Semua dilakukan dengan satu tujuan, meluluskan sebanyak-banyaknya, sehingga dengan demikian diperoleh angka atau persentase kelulusan yang tinggi. Olrh karena itu, penulis pernah mengungkapkan di kompasiana tahun lalu bahwa lulus 100 % adala biasa. Dan betapa beratnya untuk memutuskan Tidak lulus.
Motif prestise ini dapat menjadi motif kecurangan dari oknum pejabat berbagai level, dari yang tinggi hingga pada level sekolah, bahkan tingkat panitia, karena tidak jarang slogan sukses enyelenggaraaan dan sukses prestasi dapat menggoda ke arah kecurangan itu. Motif ini juga dapat berpadau dengan motif ekonomi.
Motif ekonomi yakni mencari keuntungan materi dari proses kecurangan menjadi motif yang rangenya lebih luas. Dengan model penggandaan soal sebagaimana terjadi pada DBN kali ini, oknum karyawan atau pemilik foto copy bisa saja terseret untuk mencari keuntungan dari penjualan soal USBN, yang menurut informasi dari pihak pihak yang ditawari harganya cukup lumayan, 200 ribu rupiah paket lengkap.