"Kalau puasa dan tarawihnya tidak lengkap, maka tidak punya lebaran" demikian ayah selalu bilang saat penulis awal-awal memulai puasa pada kls 1 SD. Maklum, sebagai anak kecil, tentu kadang merasa segan bangun malam untuk sahur atau segera berangkat tarawih setelah buka dengan perut kekenyangan. Namun dengan penekanan tidak punya lebaran kalau puasa dan tarawih tidak penuh, maka ada peralawan mengatasi kemalasan dari dalam diri, yang akhirnya muncul motivasi untuk menjaga kontinyuitas ibadah puasa maupun tarawih. Sebuah pembelajaran kontekstual yang sederhana namun mengena sehingga alhamdulillah dati aqil baligh sampai kini penulis belum pernah seharipun meninggalkan Ibadah puasa Ramadhan.
Realitasnya kami mengamati banyak pelajar yang begitu saja dengan mudah meninggalkan puasa, bahkan tidak malu menunjukan ketidakpuasaannya, penulis manjadi teringat didikan ayah, didikan orang tua. Pada akhirnya penulis juga sangat yakin bahwa mereka yang melakukan hal itu, berpangkal pada pendidikan agama dalam keluarga yang kurang, bahkan mungkin orang tua mereka sangat mengabaikan pendidikan agama. Penekanan orang tua dalam pengamalan agama layak dipertanyakan.
Pendidikan moral spiritual adalah pondasi untuk membentuk pribadi intelektual yang diharapkan serta mampu memberikan pencerahan dan katarsis spiritual kepada peserta didik, sehingga mereka mampu bersikap responsif terhadap segala persoalan yang tengah dihadapi masyarakat dan bangsanya. Pendidikan spiritual mewujud dalam perikehidupan yang diliputi dengan kesadaran penuh, perilaku yang berpedomankan hati nuruni, penampilan yang genuine tanpa kepalsuan, kepedulian besar akan tegaknya etika sosial.
Kurikulum 2013 membagi kompetensi sikap menjadi dua, yaitu sikap spiritual yang terkait dengan pembentukan sikap peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan sikap sosial yang terkait dengan pembentukan peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Sikapspiritual sebagai perwujudan dari menguatnya interaksi vertikal dengan Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan sikap sosial sebagai perwujudan eksistensi kesadaran dalam upaya mewujudkan harmoni kehidupan.
Menghargai dan menghayati ajaran gama yang dianut dalam perumusan indikatornya, Sikap spiritual itu dicontohkan sebagai berikut : Berdoa sebelum dan sesudah menjalankan sesuatu, Menjalankan ibadah tepat waktu.; Memberi salam pada saat awal danakhir presentasi sesuai agama yang dianut.
Bersyukur atas nikmat dan karuniaTuhan Yang Maha Esa; Mensyukuri kemampuan manusia dalam mengendalikan diri; Mengucapkan syukur ketika berhasil mengerjakan sesuatu.; Berserah diri (tawakal) kepadaTuhan setelah berikhtiar atau melakukan usaha.; Menjaga lingkungan hidup disekitar rumah tempat tinggal,sekolah dan masyarakat; Memelihara hubungan baik dengan sesama umat ciptaan Tuhan YangMaha Esa; Bersyukur kepada Tuhan YangMaha Esa sebagai bangsa Indonesia;Menghormati orang lain menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya.
Dari rumusan indikator yang dicontohkan jelas bahwa pada kurikulum 2013 spiritualitas dinilai dengan menitik beratkan pada “pelaksanaan” ajaran agama siswa. Ini sangat berbeda dengan kurikulum KTSP yang menekankan integrasi nilai-nilai spritual kedalam tiap kompetensi dasar. Sehingga spiritualitas seseorang dapat dibangun melalui berbagai kajian keilmuannya, yang pada akhirnya terbentuk pribadi yang sadar akan keagungan tuhan dalam setiap degup hidupnya yang sering disebut sebagai Ulul Albab sebagaimana tergambarkan pada Q.S Ali Imron 190. Pada KTSP spiritualitas dibangun melalui keterkaitan ilmu dengan keagungan tuhan yang akan embentuk kesadaran ketaqwaannya.
Berbagai kasusus pelanggaran hukum, asusila, intoleransi dsb yang muncul yang justru dilakukan mereka yang ditengarai melaksanakan ajaran agama, dinilai orang saleh, menunjukan bahwa pelaksanaan ajaran agama sering sering tidak sajalan dengan tingkat ketakwaan, karena boleh jadi semua dilakukan karena kamuflase, riya, sum'ah dll (lihat QS. Al Ma'un) sehingga menekankan pada pelaksanaan aktivitas keagamaan tanpa menumbuhkan kesadaran ketaqwaan melalui keterkaitan kajian keilmuan hanya akan menghasilkan penilaian Formalitas tanpa subtansi ketaqwaan, juga menumbuhkan sekuleritas peserta didik, yang pada kemudian hari menumbuhkan orang-orang hipokrit, rajin sholat tetapi khianat, rajin puasa tetapi lahap makan riba, spiritualitas hanyalah formalitas belaka.
Oleh karena itu, meski pada kurikulum 2013 menempatkan semua kompetensi termasuk kompetensi inti spiritual (KI 1) dalam level yang sama dalam proses evaluasi, terutam terkait dengan penentuan tuntas/naik.lulus apa tidak, akan tetapi pada saat yang sama menumbuhkan sekulerisasi dalam diri peserta didik, sebuah proses membentuk individu individu berbaju keimanan tetapi jauh dari nilai-nilai ketaqwaan sebagaimana muncul dalam fenomena orang-orang alim namun dzalim.
Mengingat mulai besok, 14 Juli 2014, tahun ajaran baru semua harus menggunakan kurikulum 2013, mau-tidak mau, kita semua harus berfikir bagaimana menghilangkan ancaman sekulerisasi dari proses pendidikan di sekolah-sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H