Beda kepemimpinan dan managemen adalah, kepemimpinan melakukan sesuatu menujua nilai-nilai yang benar (ideal), sedang managemen adalah melakukan sesuatu dengan benar untuk meraih target-target yang telah ditentukan. Implikasinya, pemimpin (leader) terus berupaya menjaga nilai-nilai ideal utuk mencapai menuju performa ideal, sedangkan manager melakukan upaya yang sesuai (tidak memandang ideal/tidaknya) untuk meraih target-terget yang ditetapkan.Â
Kepemimpinan nasional (tidak ada management nasional), sudah selayaknya berusaha terus menjaga nilai-nilai ideal dalam mengayuh biduk bangsa ke dermaga tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam pembukaan konstitusi dasar kita, mukadimah Undang-Undang dasar 1945, yang tidak boleh diubah oleh siapapun. Sedang  paramaater-paramater nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, yang dirumuskan dalam 5 sila, Panca Sila. Pemimpin bangsa harus dapat membreak down tujuan nasional menjadi langkah-langkah konkrit yang dilandasi oleh nilai-nilai luhurnya, tidak boleh bergeser dari hal itu.Â
Terkait dengan Kepemimpinan Pancasila, dalam gerak langkah dan performanya, sering dirumuskan dalam tiga kalimat "Ing ngarso sung tulodo", "ing Madya Mabangun Karsa, "Tut wuri handayani", Memberi Teladan, Membaangkitkan Motivasi dan Memebimbing dengan arahan bijak. Melihat kenyataan bahwa Indonesia adalah negara yanaga berbinekaa, maka pemimpin Indonesiapun harus dapat memposisikan sebagai pemimpin yang memahami berbagai kebinekaan itu, dan menjadikan dirinya dapat dipahami melalui  sudut pandang kebinekaan bukan menuntut untuk dipahami oleh kebinekaan yang ada.Â
Nasihat adiluhur "dimana bumi dipijak di situ langit di junjung", atau "di kandang kambing mengembik di kandang hari mau mengaum" harus dapat dibumikan dengan bijak dan tepat, agar apaa yang dilakukan menjadi efektif (ngefek, fungsional). Ini sejalan dengan prinsip efektifitas yang disampaikan oleh Steven R Covey, "seek understand than to be understood". Atau dalam bahasa agama, untuk membawa ke nilai-nilai ideal (jalan Tuhan) dirumuskan dengan "bilhikmah, wal mauidzatil hasanah, wajadilhum billati hiya aahsan'Â
Untuk menanamkan dan membangun serat melestarikan nilai-nilai ideal bangsa, dilakukan melalui pendidikan politik, harus disadari bahwa negara adalah bentuk institusi poltik yang tertinggi, maka untuk menumbuhkembangkan dan menjaga integritas nilai-nilai bangsa, pendidikan politik menjadi sangat vital, dan sudah menjadi kelaziman, bahwa pendidikan politik, diselenggarakan oleh partai-partai politing (Parpol). Dalam UU. No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik hal itu sangat jelas dinyatakan secara explisit.Â
Tragisnya proses depolitisasi telah berjalan lama, sepanjang rezim orde baru. Para pemimpin yang saat ini muncul, hanyalah mereka yang mengalam euphoria reformasi bahkan para oportunis yang memanfaatkan moment reformasi untuk merengguk kekuasaan berdalih demokratisasi. namun karena memang mereka tidak mendapatkan pendidikan politik yang memadai, tidak memiliki perjuangan politik yang menajdikannya dewasa politik, apalagi mereka sebenarnya para penghuni menara gading, yang dengan fokus pada dirinya, tanpa tersentuh tanggung jawab sosialnya, maka ikatan intgritas terhadap kepentingan soasial sangat lemah. Apapun yang dilakukan pertimangannnya haya satu, posisi dirinya terus berkibar.
Lemahnya ikatan sosial/integritas sosial bisa dilihat dari fenomena Ahok. Kita hanya bisa mengerti bahwa Ahok alalah politisi yang sukses melalui Golkar sebagai anggota parlemen. Tawaran menarik menajdikan dirinya meninggalkan Golkar dan diusung Gerindra. Melalui  daya tarik Jokowi yang diusung PDIP Ahok pun naik menjadi Gubernur yanag tandinya sekedar wagub. Setelah dia menjalankan dengan segala kontroversi yang justru mengerek namanya, Ahok bertekad meninggalkan partai dengan alasan yang justru mengantam partai-partai yang telah berjasa mungusung namanya hingga berkibar. Bagaikan permainan panjat pinang, maka partai-partai hanyalah pihak-pihak yang diinjak menjadi tumpuan, agar ahok dapat meraih berbagai keuntungan yang ada di puncak pohon pinang tersebut.
Menjadi kutu loncat seperti Ahok, untuk meraih jabatan/posisi yang dikehendaki memang hak pribadi Ahok sendiri, tetapi sebagai mahluk sosial, maka layak dipertanyakan, Apakah Ahok tidak punya tanggung jawab sosial untuk ikut serta membangun kader, regenerasi kepemimpinan dari partai-partai yang berjasa kepadanya ? Sebagai "pemimpin" yang diusung partai, apakah Ahok tidak memiliki taanggungjawab kekaderan bagi kepemimpinan partainya ? Bagi kepemimpinan nasional ke depan ?Â
Raihan hasil yang tidak seberapa yang dilakukan oleh Ahok memang menarik untuk dijadikan bahan promosi bagi "pembeli" yang hanya melihat wujud tanpa meneliti kualitas totalnya. Masyarakat yang dibudayakan dengan nilai-nilai pragmatisme, tanpa penanaman nilai-nilai ideal sudah barang tentu hanya menilai secara pragmatis pula. Masayarakat pragmatis akan menilai kepemimpinan Ahok secara dangkal (permukaannya belaka). Namun begai masyarakat yang telah dididik dengan nilai-nilai perjuangan, nilai-nilai ideal, maka Sedikit capaian Ahok akan dikomparasikan dengan paraamater kualitas total kepemimpinan ideal.Â
Kita melihat, saat ini masyarakat lebih banyak terjebak pada penilaian-penilaian pragmatis dan melupakan paramater-paramater idealis. Padahal sejarah membuktikan, bangsa-bangsa yang memegang nilai-nilai idealis, mengedepankan karakter pemimpinnya jauh lebih bisa bertahan dari pada mereka yang memilih paramater pragmatis, sebab paramate-paramater pragmatis, akan mudah teromang ambing bagaikan buih, sedaang nilai-nilai ideal sangat kokoh dan mampu bertahan dari gempuan badai dan gelombang. Bangsa yang kuat akhlaqnya maka akan menjadi bangsa yang kuat, sedang yang hancur akhlaqnya akan hancur pula.Â
Jadi, bagi bangsa Indonesia yang cinta NKRI, jauhkan dari tindakan pragmatisme dalam memilih pemimpin, tetapi nilailah semua calon dengan totalitas kualitas kepemimpinannya, integritas kepemimpinan, lahir, batin, pemikiran, ucapan dan tindakannya. Karena apa yang ditampilkan oleh pemimpin akan menjadi "model" bagi generasi kita selanjutnya.