Sewaktu duduk di bangku SMA, penulis membaca sebuah novel yang bercerita tentang keinginan Adolf Hitler untuk mendapatkan bangsa Jegrman yang unggul. Untuk maksud tersebut Hitler membangun sebuah fasilitas negara tempat manusoia-manusia pilihan, para pilot pilihan yang unggul secara fisik dan intelektual, serta gadis-gadis dengan kriteria yang sama. Pada waktu tertentu mereka dikumpulkan bersama dengan harapan "dihasilkan" keturunan unggul.
Tidak teras, dalam bentuk lain, untuk waktu yang lama, kita telah melestarikan ide Hitler tersebut dengan ambisi "keunggulan Bangsa" dengan melupakan asspek-aspek manusiawi anak-anak bangsa. Fasilitas Negara berupa sekolah-sekolah dan universitas-universitas megeri, hany diperuntukkan oleh anak-anak "unggul" Â belaka. Bahkan melalui sistem pendidikan dibangun sekat-sekat kecongkakan, denga labelisasi sekolah, Sekolah Unggul !Â
Kita melupakan satu hal yang lebih penting dari sekedar unggulan (intelektual ) lulusan sekolah atau alumni perguruan tinggi yakni semangat persatuan dan kebersamaan membangun tanggung jawab bersama untuk masa depan bangsa Indonesia yang berbineka. Kita justru sejak awal mendidik generasi penerus dalam kotak-kotak perpecahan, spirit mengalahkan  satu terhadap yang lain. Hal itu sangat nampak pada performa orang - orang terdidik yang masing-masing menonjolkan kecongkakan intelektuanya dalam berbagai hal. Dampaknya, apapun akan diperdebatkan, dijadikan konstroversi berkepanjangan, berpanjang-panjang argumentasi fikiran, tanpa mencoba saling mengerti, saling memahami dan kemudian saling mendukung meskipun ada perbedaan-perbedaan.Â
Imbas dalam menggulirkan pembangunan bangsa, maka tidak ada satupun kebijakan oleh pihak yang berwenang berjalan dengan dukungan bahu-membahu seluruh kekuatan bangsa sehingga bangsa Indonesia cepat mencapai dermaga tujuan kemerdekaannya. Apapun kebijakan pembangunan selalu dihadang dengan kontroversi, dan uapaya orgasme intelektual dari mereka-mereka yang "merasa pintar". Kepintaran telah menjelma menjadi senjata untuk memuaskan ego intelektualnya.Â
Penulis melihat "karakter" demikian terkait dengan borjuoisme pendidikan yang selama ini membentuknya. Dalam harapan penulis, untuk menjadikan NKRI lestari dengan segala kebhinekaannya, harus dibangun dari pendidikan. Semua proses pendidikan harus mencerminkan proses "Menjadi Indonesia seutuhnya" bagi generasi penerus bangsa. Kelas-kelas, harus menjadi ruang terbuka kebinekaan dimana peserta didik saling asah, asih, asuh dari berbagai latar belakang berbeda untuk berwiyata bersama mewujudkan lukisan masa depan Indonesia yang indah mempesona. Intinya, sekolah-sekolah negeri  harus menerapkan Inclusivisme pendidikan.Â
Semua berpangkal pada sistem rekruitmen warga belajar sebuah sekolah (tentunya sekolah negeri), harus ada perubahan sistem seleksi penerimaan siswa baru di sekolah-sekolah negeri. Jika selama ini selekse dilandaskan pada tingkat intelektual dengan persyaratan NUM tingkat pendidikan sebelumnya, maka untuk PPDB mulai tahun ini sebaiknya menggunakan basis lingkungan. Seleksi bukan didasarkan pada nilai (yang konon bisa dibeli) tetapi berdasar lokasi (jarak) tempat tinggal peserta dididik dengan sekolah.Â
Pola ini akan memungkinkan :
1. Peserta didik akan sangat heterogen (inclusif) intelektual, sosial dan tingkat ekonomi dari lingkungan tersebut.
2. Sekolah punya makna bagi lingkungannya, karena yang menempuh pendidikan di sekolah tersebut adalah peserta didik  setempat, yang memungkinkan dibangun bina lingkungan dan sikap handarbeni masyarakat terhadap pendidikan.Â
3. kelas menjadi miniatur Indonesia, dimana Peserta didik dikondisikan saling memahami dalam kebhinekaan, sebagai modal besar bagi kelestarian NKRI, dan didik uintuk terus bahu membahu sesama anak bangsaÂ
4. Penghematan ekonomi terutama cost transportasi yang harus ditanggung keluarga, sekaligus juga mengurangi bahan bakar sekaligus emisi gas pencemarnya.Â