Selamat jalan pahlawan demokrasi, jasamu tetap mengharumkan persada ibu pertiwi. Tulisan kali ini akan mengangkat permasalahan yang bangsa Indonesia alami pasca pemilu tanggal 17 April yang lalu. Seperti kita ketahui, banyak pahlawan demokrasi yang gurur yang disinyalir akhibat kelelahan. Penulis mencoba melihat dari perspektif yang berbeda terkait gugurnya para pejuang demokrasi tersebut.Â
Fakta menunjukan, banyak peneliti yang melaporkan bahwa situasi stres dapat mengurangi berbagai aspek dari respon pertahanan  seluler. Studi para ahli dari Ohio State University misalnya, menunjukkan bahwa stres psikologis mempengaruhi sistem imun  tubuh dengan mengganggu komunikasi antara sistem saraf, endokrin (hormon) sistem, dan sistem kekebalan tubuh. Ketiga sistem "berbicara" satu sama lain menggunakan pesan-pesan kimiawi alami, dan harus bekerja dalam koordinasi yang erat untuk menjadi efektif. Pendek kata stress dapat mengakibatkan hancurnya daya tahan tubuh seseorang.Â
Disisi lain, Stres juga dapat mengakibatkan seseoramg mudah mengalami kelelahan. Kelelahan akibat stres berlebihan dan keletihan kronis bisa menyebabkan kesehatan Anda terganggu bahkan cenderung berbahaya. Terkadang digambarkan sebagai sindrom overachievers, orang-orang dengan penyakit ini mengalami kerusakan total yang mencakup kelelahan emosional, kognitif, dan fisik. Sekali menyerang, kelelahan dapat memakan waktu yang sangat lama dan membutuhkan perawatan ekstensif untuk dapat pulih kembali.
Dengan demikian boleh jadi, tekanan dahsyat yang terus meneus dihantamkan dari kelompok yang membangun narasi kecurangan dapat meruntuhkan daya tahan para pahlawan demokrasi sehingga gugur.Â
Dalam pandangan penulis, pada pelaksanaan prmilu serentak ini, sebenarnya tambahan beban kerja panitia pemungutan suara bertambah tetutana pada satu surat suara, yakni surat suara pilpres, dengan dua kontestan.
Jika rata rata membutuhkan 10 detik untuk perhitungan satu surat suara, dan rata rata satu TPS terdapat 200 orang pemilih, maka beban kerja tambahan  adalah 2000 detik, kurang lebih 40 menit atau katakanlah 1 jam. Dalam pandangan penulis, beban tambahan 1 jam bagi para pejuang bukanlah  hal yang terlalu berat hingga mencapai kelelahan yang membahayakan.Â
Penulis lebih melihat, bahwa  dropnya kekuatan fisik (dan juga mental tentunya) pahlawan demokrasi sangat patut  diduga lebih diakhibatkan oleh  beban mental yang luar biasa. Jika kita telisik dengan  bandingkan dengan pemilu sebelumnya, hal yang sangat signifikan terjadi adalah masifnya narasi kecurangan dibangun dengan ancaman tidak tanggung tanggung, people power !
Adanya tekanan mental dapat dipahami dari laporan mass media  bahwa pahlawan demokrasi yang gugur itu sebelumnya mengigau tentang pemilu. Biasanya, seseorang mengigau karena sedang mengalami tekanan emosional atau stres.Â
Tentu saja, ini akan lebih sering terjadi pada penderita depresi, inilah yang perlu disadari oleh kita semua, utamanya para pembangun narasi kecurangan yang masih terus menggaungkan hingga kini. Jika tidak dihentikan, bisa saja deretan namap-nama pahlawan demokrasi yang gugur makin bertambah panjang.
Disisi lain, petugas dari PPS yang hingga kini kindisi fisiknya atau emosi belum sepenuhnya kembali sebagaimana biasanya, perlu diberikan perawatan fisik dan mental. Sebaliknya bagi pihak pihak tertentu, jika tetjafi hal hal yang dirasa janggal sebaiknya diselesaikan melalui mekanisme hukum yang berlaku.
Jangan bersikap egois, sehingga berbagai kekeliruan yang sebenarnya dapat diselesaikan melaluiekanisme yang ada, tetapi terus digunskan untuk memperkokoh narasi yang dibangun hanya untuk memenuhi birahi politiknya di satu sisi, tetapi terus menrajam mental para pejuang demokradi yang telah bersungguh sungguh bekerja untuk kesuksesan penyelenggaraan pesta demokrasi.