Terjungkalna tokoh politisi Partai Golkar Stya Novanto terkait dengan masalah korupsi, tidak lepas dari "debut awal" terseretnya Setya Nobanto dalam pusaran kasus Korupsi yang diungkapkan oleh Sudirman Said yanag terkenal dengan kasus "papa minta saham", Meskipun pasca kausu it justreru terdapat manufer-manufer politik yang dilakukan pihak terentu sehingga justeru Sudirman Said yang dikorbankan
namun kejaian-kejadian berikutnya justeru memungkinkan tersandungnya Setya Novanto dalam kasus mega korupsi E-KTP. Sudirman Said sendiri saat ini berkompetisi memperebutkan kursi Jateng 1 bersama petahan Ganjar Pranowo yang namanya terseret-serter dalam kasusu mega korupsi E-KTP yang menjadikan Setya Novanto menjadi "pasien" KPK.Â
Sejak awal penulis katakan Jateng adalah daerah Nderek Mega dan Nderek Romo Kyai ( lihat kompasiaana, edisi 14 Desember 2017) Â kedua hal itu secara cerdas diramu oleh PDIP, bahkan dalam bahasa fisik simbol itu terlihat pada spanduk, yang baik biasanya PDIP bergambar Mega dan Soekarno sekarang Mega dan KH Maemun Zubair. Posisi elektabilitas Ganjar dan SS sementara beda sangat telak.
Jika pola strategy SS tidak berubah, bisa saja posisi ini bertahan hingga menjadi hasil Ahir. Tentu saja kita akan bilang itu terlalu dini. Posisi itu bisa berubah bahkan bisa saja berbalik tergantung dari apa yang terjadi beberapa Minggu ke depan, dan hal itu terkait evaluasi, pemantapan strategy dan juga action riil (lahir batin) dari team SS sendiri.
JIka kita cermati hubungan antara Isue sekitar pemilu yang menyebabkan perolehan suara partai turun, nampaknya isue korupsi benar-benar memukul partai tertentu. Sebagai misal PD yang pada tahun 2009 berjaya dengan 150 kursi akhibat Isue korupsi Hambalang dll 2014 turun drastis tinggal 61 kursi. Contoh lain PKS, di tahun 2009 memperoleh 57 kursi, akhibat isue Daging Sapi pada Pemilu 2014 hanya memperoleh 40 kursi.
JIka hal itu benar, maka isue koruupsi menjelang pemilu 2019 seperti E-KTP dll dapat merontokkan parta-partai yang kader-kadernya terlibat, Partai Golkar Nampaknya yang akan paling terpukul, Atau jika semua terlibat, maka parta-partai yang tidak memiliki wakil di parlemen dapat saja endapat durian runtuh. Hal ini tentu saja jika mereka dapat memainkan isue itu untuk keunggulannya. Itulah yang penulis lakukan pada pemilu 2014 dengan "Bedol Senayan" dan "Just Say No for Incumbent
Memang dari kabar perkembangan yang ada terkait Mega korupsi E-KTP dimana nama Ganjar Pranowo yang sempat terseret dalam pusaran kasus itu belum beranjak dari sekedar dugaan. Namun dari pengakuan Ganjar sendiri yang kira kira menyatakan "dia tahu ada bagi bagi uang tetapi tidak menerima" (betul begitu Pak Ganjar ? mohon konfirmasi). Bagi saya hal itu justru menunjukan bahwa Ganjar terkaragori terlibat, karena membiarkan tindak korupsi itu terjadi. Jika pernyataan Ganjar benar seperti itu, maka pihak berwajib perlu terus menggali pernyataan itu.
Mencoba terus mencari kejelasan tentang posisi Ganjar Pranowo dalam pusaran Mega korupsi E-KTP tentu bukanlah terkaragori kampanye hitam, sebab kasus itu dan adanya nama Ganjar Pranowo memang sudah berlangsung jauh sebelum pencaguban Ganjar Pranowo sendiri. Sebagai komponen anti korupsi Sudarman Said dan tentu teamnya dapat menggarap isue itu lebih jelas, dan terhindar dari fitnah.
Pendalaman sejenis dapat pula dilakukan terhadap semua aspek pembangunan Jawa Tengah di bawah kepemimpinan Jawa Tengah sendiri. "Audit efektivitas" anggaran yang ada di Jawa Tengah, dengan fakta hasil pembangunan yang menurut penilaian penulis kurang menggembirakan dapat dilakukan secermat mungkin mengingat kemampuan Sudirman Said dalam hal budgeting sangat handal.
Out come dari audit efektivitas itu ditemukan gambaran yang jelas (dengan angka angka tentunya) untuk mengevaluasi dan menawarkan program pembangunan yang lebih menarik yang dapat ditawarkan untuk masyarakat Jateng agar Mukti bareng.. Terkait dengan hal itu kita bisa lihat bagaimana Sudirman Said unggul dalam polling pasca debat kandidat.
Keunggulan dalam debat harus dijadikan modal untuk meningkatkan elektabilitas termasuk terkait dengan jawaban diplomatis "nanti saja" yang kini justru membuat ada pihak pihak yang kebakaran jenggot. Barangkali akan lebih jelas jika jawaban itu diberi anak kalimat "maaf, ini proses pilkada, bukan pilpres" dan sudah sewajarnya jika Sudirman Said terpilih menjadi Gubetnur, akan menjadi milik bersama. Sehingga Jateng Mukti bareng dapat langgeng.