Pendidikan bersyariah apa pula itu ? menjawab pertanyaan ini penulis mencoba menjelaskannya dari sisi faktual praktek penyelenggaraan pendidiikan di Indonesia. Sebagai contoh, kita mengenal sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat seperti Debrito, Stelladuce, Santa Ursula, Santo Yoseph  dll, dimana ada pemisahan pelayanan pendidikan bagi peserta didik perempuan dan peserta didik lelaki. Di Sekolah sekolah Islam juga mengenal misalnya ada mualimin untuk lelaki dan mualimat untuk perempuan.  Semua itu penulis pahami sebagai upaya menerapkan syariah baik iman kristiani (Katolik) maupun Syariah Islam dalam lembaga pendidikan Islam.
Ciri khas sekolah-sekolah tersebut selain mendidik dengan ilmu umum (dunia) juga ilmu keagamaan (Keimanan) dengan harapan out come lembaga pendidikan tersebut menjadi warga masyarakat yang mampu hidup di tengah masyarakat yang heterogen dengan segala tantangannya dengan tetap berpegang pada nilai-nilai keimanan yang diyakininya. Dengan demikian pendidikan bersyariah dapat dimaknai sebagai pendidikan yang diselenggarakan selain mengembangkan iptek juga Imtak,  sebuah  penyelenggaraan pendidikan yang berkeimanan, berkeagamaan,  atau pendidikan yang memperhatikan nilai-nilai religiusitas dalam ide, perencanaan, penyelenggaraan maupun tujuan ahirnya.
Sebenarnya pendidikan yang demikian itu adalah pendidikan sejatiya untuk Indonesia yang memang berketuhanan yang maha esa. Apa lagi jika kita menengok sejarah penyusunan konstitusi dasar RI yang  juga diikuti oleh para mujahid funding fathers, rumusan "mencerdaskan kehidupan bangsa" kayisu man daana nafsahu wa amila lima ba'da mautih" . Cerdas bagi para tokoh kita adalah manusia yang berkemampuan hidup di dunia dengan baik dan hidup di akhirat kelak dengan baik pula. Oleh karena itu, selama seseorang menempuh pendidikannya, keseimbangan ilmu dunia dan ilmu ahirat, ilmu umum dan ilmu agama, iptek dan imtak ters diupayakan.
Dengan dididik dan dibudayakan dalam pendidikan bersyariah, pendidikan berkeimanan, maka bagi seorang Kristiani akan hidup dengan menabur kasih di dunia ini khusunya dalam kehidupan bermasyarakat di NKRI, dan bagi seorang muslim Indonesia  hidup dengan menabur nilai-nilai rahmatan lil alamin (nilai kerahmatan). Sudah barang tentu dengan dididik dalam kehidupan syariah/iman seseorang akan sadar akan pahala dan dosa, halal dan haram, boleh dan tidak boleh, yang diatur dalam syariah atau aturan keagamaan. Salah satu wujud dari kesadaran itu adalah dengan memisahkan pendidikan bagi  perempuan dan lelaki, yang dikenal dalam Islam ada hijab.
Jika setiap indifidu yang telah menempuh pendidikan bersyariah menjalankan aturan aturan keagamaan, diaman dia tidak dusta, tidak memfitnah, tidak berbuat kejahatan, terorisme, korupsi, merampok uang negara, menyantuni yang miskin, membantu yang lemah, mengasihi sesama dana seluruh alam raya, maka sesungguhnya pada saat itulah tercipta masyarakat yang bersyariah. Dan jika nilai-niali itu diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan negara, maka dalam pemahaman saya negara itu telah menjalankan syariah. Atau dengan kata lain NKRI bersyariah tercapai jika nilai-nilai religius, nilai-nilai ketuhanan yang maha esa menjadi ruh dan penggerak kehidupan bernegara.
Menurut pemahaman penulis, hal seperti itulah esensi dari amanat Habib Rizeq yang disampaikan dari Arab Saudi langsung pada saat Reuni Akbar 212 pada hari Sabtu pagi, 2 Desember 2107 tentang NKRI bersyariah. Penegasan HRS bahwa NKRI bersyariah adalaha NKRI yang berketuhanan yang maha esa adalah point bahwa yang dimaksud oleh HRS tentang NKRI bersyariah itu tidak sama dengan apa yang diplintir-plintir oleh mereka yang tidak suka dengan nilai-nilai ketuhanan yang maha esa, nilai-nilai religius, nilai-nilai keagamaan, dan khususnya nilai-nilai Islam sebagai agama yang menebar Rahmatan lil alamin.
Oleh karena itu sangat wajar ketika pernyataan HRS itu dibow up habis-habisan melalui sosial media maupun median main streem sebagai upaya politik alumni 212 dalam menggaanti konstitusi NKRI. Blow up seperti itu justru sangat berbahaya karena bisa menjadi promosi penegas seolah olah yang diinginkan oleh Reuni 212 adalah seperti itu, padahal kaum muslimin semakin yakin dengan spirit 212 yang esensinya adalah bahwa masalah kepemimpinan, maslah politik, memang adalah bagian dari agama itu sendiri, yang jika terus disudutkan berimbas kurang baik. Jangan sampai karena ketidaaksukaan kepada HRS misalnya, justru membuat keruh semuanya.Â
Penulis lebih memahami bahwa NKRI bersyariah sebgaia kondisi NKRI yang benar-benar diwarnai oleh spirit berketuhanan yang maha esa, yang dalam bahasa agama (islam) sebagai baldatun thoyyibatun wa robbun Ghofur. Yakni kondisi negara yang baik, jauh dari krisis, jauh dari kesengsaraan, terlepas dari dominasi asiing, yang penuh ampunan tuhan karena terhindar dari berbagai pelanggaran keagamaan seperti korupsi, kebohongan, kekerasan, kedzaliman, terorisme dan sebagainya. Sebagaimana digambarkan dlam jejer wayang untuk menggambarkan sebuah nnegri yang "gemah ripah lohjinawi tata tentrem karta raharja"
Kondisi negara yang demikian, hanya mungkin gtercipta jika masyarakat hidup dalam kondisi yang seperti itu, dan untuk menuju masyarakat yang demikian, masyarakat religius, masyarakat yang bersyariah, tidak bisa tidak harus dididik dalam pendidikan yang bersyariah. Tidak mungkin pendidikan yang justru menumbuhkan kebebasan bertindak, yang dilandasi oleh nilai-nilai liberalisme menghasilkan pribadi-pribadi yang bersyariah, pribadi penuh kasih, pribadi yang menabur rahmatan lil alamin, Itulah taatangan yang harus kita hadapi ditengah realitas bahwa pendidikan kita didominasi liberalisme yang tentu tidak sepenuhnya sesua dengan nilai-nilai ketuhanan yang maha esa.Â
Terus mendorong ke arah liberalisme, kapitalisme, yang pada ahirnya juga mengarah pada komunisme dan atheisme adalah tantangan bersama umat yang berketuhanan yang maha esa, umat beragama di negara pancasila. Oleh karena itu penulis memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada sekolah sekolah yang tetap mempertahankan pendidikan sesuai syariah (tuntunan) keimanannya dari agam apapun di Indonesia , yang berarati juga tetap mempertahanan ketuhanan yang maha esa. Penulis sangat yakin NKRI yang berpancasila, hanya bisa ditegakkan oleh masyarakat yang beragama, NKRI bersyariah hanya dapat terwujud jika masyarakat bersyariah, menjalankan ajaeran agama sesuai keyakinan  masing masing. Dan tentu saja masyarakat bersyariah, masyarakat religius akan terwujud jika didik diedukasi dengan pendidikan bersyariah, pendidikan yanga menjunjung tinggi nilai-nilai religius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H