Mohon tunggu...
Darwono Guru Kita
Darwono Guru Kita Mohon Tunggu... profesional -

**************************************** \r\n DARWONO, ALUMNI PONDOK PESANTREN BUDI MULIA , FKH UGM, MANTAN AKTIVIS HMI, LEMBAGA DAKWAH KAMPUS JAMA'AH SHALAHUDDIN UGM, KPMDB, KAPPEMAJA dll *****************************************\r\n\r\n\r\n\r\n\r\nPemikiran di www.theholisticleadership.blogspot.com\r\n\r\nJejak aktivitas di youtube.com/doitsoteam. \r\n\r\n\r\n*****************************************\r\n\r\nSaat ini bekerja sebagai Pendidik, Penulis, Motivator/Trainer Nasional dan relawan Pengembangan Masyarakat serta Penggerak Penyembuhan Terpadu dan Cerdas Politik Untuk Indonesia Lebih baik\r\n*****************************************

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru, Bagaimana Nasibmu dengan Hadirnya Gubernur Baru?

15 Oktober 2017   17:29 Diperbarui: 15 Oktober 2017   17:39 1143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada saat kampanye di Youth Center Jakarta Timur, Anies Baswedan menyatakan bahwa untuk  menyelesaikan permasalahan di Jakarta harus dari akarnya yakni peningkatan kualitas pendidikan. Ibarat penyakit demam yang infeksi harus diberi obat anti biotik yang ada takarannya serta harus sampai tuntas mengkonsumsinya" Hal ini dikarenakan menurut Anies " kemiskinan harus dibereskan dengan peningkatan mutu orangnya kemudian perluasan kesempatan kerjanya sehingga mereka bisa hidup mandiri dan ikut di dalam pertumbuhan ekonomi Jakarta,"

Meskipun menurut Ahok "Anak Jakarta punya masa sekolah lebih panjang karena ada Kartu Jakarta Pintar. Apalagi bila iming-iming Rp 18 juta bagi siswa yang berhasil diterima di Perguruan Tinggi Negeri terealisasi, maka anak Jakarta bakal punya masa sekolah lebih panjang lagi. Dia menyebut angka putus sekolah SMA di Yogyakarta mencapai 13 persen, dan Jakarta hanya 0,4 persen." Namun tentu saja, kualitas pendidikan tidak tergantung faktor tunggal lamanya waktu sekolah rata-rata. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, daintaranya adalah guru, termasuk sarana dan prasarananya


Terkait sarana prasarana, hingga masa Ahok, kondisi sekitar 2000-an sekolah negeri di Jakarta diakui Ahok  agak kacau Jakarta. Jika Ahok lebih teliti lagi dalam memotret sarana prasarana pendidikan sekolah swasta di Jakarta, penulis yakin Ahok akan jauh lebih prihatin. Memang ada sekolah-sekolah swasta yang mentereng, namun sekolah-sekolah swasta papan atas itu jumlahnya tidak seberapa. Sekolah-sekolah swasta kebabyakan yang rata-rata menampung peserta didik yang tidak diterima di sekolah-sekolah negeri, yang kebanyakan berasal dari masyarakat kelas menengah ke bawah, kondisinya jauh lebih memprihatinkan. Selain gedung sarana laborotorium yang sangat fital dalam pembelajaran dengan pendekatan saitifik jauh dari ideal

Dilihat dari kualitas kompetensi  guru, berdasar hasil Uji Kompetensi awal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang dilaksanakan pada bulan februari lalu dan ternyata menempatkan DKI pada peringkat ke dua setelah DIY. Daerah Hasil Uji Kompetensi Awal  Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki nilai rata-rata sebesar 50,1.ada pada peringkat I.  Setelah Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi yang masuk 10 besar adalah propinsi DKI Jakarta (49,2), Bali (48,9), Jawa Timur (47,1), Jawa Tengah (45,2), Jawa Barat (44,0), Kepulauan Riau (43,8), Sumatera Barat (42,7), Papua (41,1) dan Banten (41,1). Sudah barang tentu, performa hasil Uji kompetensi guru ini juga banyak dipengaruhi oleh banyak faktor.

Jika dibandingkan dengan rerata hasil uji kompetensi nasional sebesar 43, maka dapat dikatakan bahwa guru-guru DKI memiliki nilai kompetensi di atas rata rata. Selanjutnya dinyatakan bahwa jika seorang  lulus uji kompetensi sebagai syarat untuk memperoleh sertifikasi profesi yang menandai layak tidaknya seorang pendidik menyandang sebutan pendidik profesional berimplikasi pada meningkatnya penghasilan pendidik. Pendidik yang menyandang sebutan profesional berhak memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokoknya.

Dengan adanya pendapatan tambahan  diasumsikan bahwa pendapatan yang bertambah akan berimplikasi pula pada meningkatnya perhatian pendidik pada tugas pokoknya dan akan mengurangi porsi waktunya untuk bekerja "di luar" jam tugas pokoknya. Hal itu berdampak positif pada kualitas pengelolaan PBM yang dikelolanya. Selanjutnya, dapat diharapkan kualitas peserta didiknya meningkat pula. Pada akhirnya akan berdampak positif pada kualitas pendidikan pada umumnya.

Masalahnya dengan pendapatan tambahan dari TPG yang setingkat, misalnya pada TPG dasar untuk guru swasta  Rp. 1.500.000 per bulan, jelas angka sebesar itu untuk guru-guru di Jakarta sangat jauh berbeda dengan guru-guru yang menerima  TPG di daerah.  Jika angka penerimaan pendaapatan guru-guru swasta di DKI Jakarta di bandingkan dengan UMP DKI  yang diterima oleh buruh paling rendah, maka dengan 24 JP jika rerata per JP adalah Rp. 25.000 plus transport RP. 20.000 per kehadiran , maka total income yang diterima oleh guru swasta profesional  dengan TPG nya berkisar Rp. 2.600.000 Jauh dari UMP DKI bukan ?

Apalagi faktanya, serapan untuk sertifikasi bagi guru-guru swasata sangat rendah, betapa banyak guru-guru swasta di DKI yang belum tersertifikasi, yang artinya mereka hanya mengandalkan honorarium dari sekolah/yayasan berkisar antara 1 -- 1,5 juta rupiah per bulan. Apslagi fakta di lapangan mereka yang sudah lulus uji kompetensi dan sudah terkatagori sebagai guru profesional  di sekolah swasta (Non- PNS) pun belum tentu menerima TPG . Penulis alami sendiri, dengan menjajar 22 JP perminggu  penulis tidak menerima  TPG padahal pada tahun tersebut penulis membimbing regu KIR  yang bisa lolos final tingkat nasional 2 kali. Mencari  2 JP di sekolah lain tentu bukan hal mudah.

Tulisan ini tidak menyoroti guru-guru PNS karena kita tahu, kesejahteran guru-guru PNS  dengan TPG dan TKD nya sangat luar biasa. Demikian guru-guru honorer di sekolah negeri yang sudah minimal UMP. Penulis yakin Gubernur Anies Baswedan sangat memahami persis gap kesejahteraan guru-guru PNS dan Non PNS. Gambarannya, gap dichotomi guru PNS dan Non PNS terkait dengan ingkat pendapatannya sangat jauh. Gambaran dari teman --teman guru  yang baru diangkat sebagai PNS  bercerita  bahwa mereka mereka menerima sekitar 7 -- 8 juta perbulan (tanpa TPG) sedang guru-guru swasta menerima 800.000 -- 1 jt . Gap kesejahteraan guru pun kian menganga. Padahal mereka memiliki kewajiban yang sama, mencerdaskan anak-anak bangsa.

Dengan demikian, kualitas pendidikan di DKI akan terus mengalami problematika selama pemprof tidak merasa bertanggung jawab meningkatkan kesejahteraan guru-guru swasta. Inilah tantangan Gubernur Anies Baswedan yang bertekad meningkatkan kualitas pendidikan DKI sebagai tumpuan untuk meningkatkan kualitas hidup warganya. Guru-guru swasta jelas tidak mungkin menuntut keanikkan kesejahteraan kepada sekolah/yayasan tempatnya bekerja sebab, tuntutan kenaikan gaji ke yayasan hanya akan berimbas pada beban yang harus dipikul oleh orang tua murid, padahal sekolah-sekolah swasta pada umumnya menampung peserta didik dari kalangan dhuafa, dalam artian dhuafa dalam berbagai aspeknya.

Oleh karena itu, harus ada dana APBD yang dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan guru-guru non PNS. Mekanismenya bisa saja berupa subsidi dari  pemprof bekerja sama dengan sekolah-sekolah yang belum dapat memenuhi  standar upah minimal propinsi bagi guru-guru atau karyawannya, proses ini  bertjuan agar paling tidak guru-guru  dan karyawan pendidikan minimal menerima pendapatan setingkat UMP dengan tidak membebani orang tua peserta didik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun