Saat ini, dunia pendidikan Indonesia sedang gencar-gencaranya menupayakaan  berkurangnya berbagai kekerasan yang biasa terjadi di sekolah - sekolah Indonesia melalui kampanye gerakan Sekolah Ramah, kita ingin berbagai tindak kekarasan terutama yang terjadi diantara warga sekolah berangsur hilang.Â
Sebagaia pendidik penulis tentu saja sangat mendukung upaya itu, sebab hanya dengan lingkungan yang bebas kekerasan eserta didik dapat belajar dengan nyaman dan diharapkan mampu mengembangkan berbagai potensinya secara optimal. Tetu saja apa yang terjadi di sekolah tidak pernah lepas dari pengaruh lingkungan di luar sekolah, termasuk dengan berbagai tayangan yang harus diakui sebagai salah satu sumber belajar bagi peserta didik. Masalaahnya muncul kita ada niatan untuk menaangkan kembali film Penghianatan G 30 S/ PKI.Â
Seingat penulis  (maaf sata nobton tahun 1988) adegan film Penghianatan G 30 S/PKI sarat dengan kekerasan. Mulai dari penggambaran penculikan para jenderal, oesra bunga di daerah Lubang Buaya yang nengetikan dan sadis yang jika tidak salah ingat dilakukan oleh anggota PKI terutama Gerwani, yang menyayat wajah hingga memotong alat kelamin para korban. Demikian  juga saat penggantangan pelaku gerakan itu. Padahal seperti kuta ketahui bersama bahwa adegan kekerasan dapat nempenfaruhi jiwa penontonnta teruta bagi anak anak.
Yang dimakdud dengan tayangan kekerasan adalah tayangan yang menampilkan adegan kekerasan dari tingkat yang ringan seperti : kata-kata kasar, makian, cacian, sampai kepada tingkat yang berat seperti adegan membunuh. Hampir semua stasiun televisi di Indonesia menampilkan adegan kekerasan sebagai menu utamanya. Oleh sebab itu sebagai orang tua, pendidik maupun cendekiawan kita sepatutnya merasa khawatir terhadap pengaruh yang diakibatkannya terhadap anak kita.
Sebagaimana kita ketahui bersama, adegan kekerasan di televisi atau media lainnya bisa terdapat dalam tayangan kartun anak-anak, acara kriminal di siang hari atau pada film orang dewasa yang tertuang dalam aksi-aksi tertentu. Pengaruh yang bisa ditimbulkan dari tayangan kekerasan bervariasi tergantung dari usia anak, jenis kekerasan yang dilihat dan juga seberapa sering anak melihat kekerasan tersebut.
Berdasar berbagai kajian, ada sejumlah ahibat yang dapat ditimbulkan jika anak-anak melihat adegan kekerasan dari media, yaitu: Pertama, Berkurangnya rasa empatiBagi anak-anak yang menonton tayangan kekerasan akan menganggap bahwa kekerasan adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik atau masalah, sehingga hal ini akan mengurangi rasa empati anak-anak terhadap orang lain.Â
Kondisi ini akan terbawa hingga anak-anak tersebut dewasa dan tumbuh menjadi kepribadian yang keras. Kondisi  ini menyebabkan  anak-anak menjadi tidak peka terhadap penderitaan orang lain. Kondisi ini terutama berlaku pada anak yang berusia di bawah 7 tahun, karena belum bisa membedakan antara fantasi dan juga kenyataan. Salah satu penyebabnya adalah anak-anak sering meniru segala sesuatu yang dilihatnya.
Kedua, menyebabkan anak menjadi penakut dan terlalu cemas. Mereka didera oleh rasa  bahwa dunia ini penuh kejahatan dan tidak aman. Kita dapat mengambil pelajaran dari sebuah studi yang dilakukan oleh University of Michigan menyatakan bahwa efek dari tayangan kekerasan dapat menimbulkan  kecemasan seseorang meningkat. Walaupun  terkadang anak-anak secara sadar mengetahui bahwa itu tidak nyata, tapi tubuhnya bereaksi seolah-olah hal tersebut nyata. Anak-anak dapat hidup dalam halusinasi berkepanjangan.
Dampak Ke tiga adalah, mempengaruhi kecerdasan anak karena dapat memicu mimpi buruk, depresi, gangguan tidur serta rasa takut yang berlebihan. Bahkan bagi anak usia remaja dapat  mempengaruhi  perilaku kekerasan di dalam lingkungannya yang  berhubungan dengan gangguan perkembangan otak.Berbagai tindak kekerasan yang saat ini marak terjadi di kalangan remaja boleh jadi merupakan efek dari maraknya tayangan yang terkatagori dalam tayangan kekerasan.
Sementara itu American Academy of Pediatrics mengungkapksn bahwa hubungan antara adegan kekerasan dengan perilaku agresif sama kuatnya dengan hubungan antara merokok dan kanker paru-paru. Hal ini karena dalam adegan kekerasan selalu identik dengan orang pertama atau 'jagoan' yang akan selalu menang, sehingga setiap anak selalu ingin menjadi jagoan tersebut.
Memperhatikan apa yang disampsikan oleh American Academy of Pediatrics tersebut, maka betapa terlukanya anak anak Indonesia ketija tahu bahwa sang jagiannya dalsm film Penghianatan G 30 S / PKI dalam petjalanan srkanjutnya penuh kontradiksi, melakukan betbagai pelanggaran HAM berat bahkan harys menghadapi berbagai tuntutan, termasuk menghadapi tuntutan harus mundur karena nelakukan berbagai oenyalahgunaan. Akan kita memberi pembelajaran pada anak-anak bangsa untuk terus hidup dalam kontradiksi atau hipokrit?Â