Mohon tunggu...
Darwono Guru Kita
Darwono Guru Kita Mohon Tunggu... profesional -

**************************************** \r\n DARWONO, ALUMNI PONDOK PESANTREN BUDI MULIA , FKH UGM, MANTAN AKTIVIS HMI, LEMBAGA DAKWAH KAMPUS JAMA'AH SHALAHUDDIN UGM, KPMDB, KAPPEMAJA dll *****************************************\r\n\r\n\r\n\r\n\r\nPemikiran di www.theholisticleadership.blogspot.com\r\n\r\nJejak aktivitas di youtube.com/doitsoteam. \r\n\r\n\r\n*****************************************\r\n\r\nSaat ini bekerja sebagai Pendidik, Penulis, Motivator/Trainer Nasional dan relawan Pengembangan Masyarakat serta Penggerak Penyembuhan Terpadu dan Cerdas Politik Untuk Indonesia Lebih baik\r\n*****************************************

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah Sekolah sebagai Sumber Kekerasan?

12 Juli 2016   07:50 Diperbarui: 12 Juli 2016   08:12 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Membaca postingan di twitter yang mengungangkapkan pertanyaan retoris :  " Alami Kekerasan di Sekolah? Adukan ke Nomor Ini'"disertai dengan  pic "stopbulying" dari salah satu    nasional, jujur sebagai guru, hati penulis menjadi terasa berontak, sudah sedemikian parahkah kekerasan yang terjadi di sekolah-sekolah ? Benarkah di negara kita kekerasan di sekolah sudah mencapai taraf masif sehingga seakan-akan kita perlu mengadakan semacam posko pengaduan atau hotline yang biasa digunakan dalam kondisi darurat ? Apakah kita sudah sampai pada "Darurat Kekerasan Sekolah" ? 

Memang kita akui ada beberapa kasus kekerasan di sekolah ataupun bullying namun, jumlah dan karakteristiknya tentu jauh dari tingkatan kejadian masif yang perlu diseret ke arah "darurat kekerasan sekolah" yang memerlukan posko-posko pengaduan. Langkah ini bisa berakibat fatal bagi timbulnya apatisme masyarakat untuk mempercayakan pendidikannya kepada institusi yang disebut sekolah. Di tahun delapanpuluhan (80-an) dengan kampanye pendidikan yang membebaskan, dengan asumsi pendidikan itu mempenjarakan, melahirkan banyak orang tua (terutama dari keluarga aktifis muda saat itu) tidak mengambil pendidikan melalui sekolah, mereka lebih memilih mendidik anak menjadi "anak-anak merdeka". yang sebenarnya dapat diartikan sebagai anak-anak yang tidak terikat dengan aturan sekolah. 

Isu di tahun 80-an itu sangat sejenis dengan isue saat ini, dengan berganti kemasan, dulu isue kebebasan, sekarang isu kekerasan atau bullying di sekolah. Kedua isue itu sebenarnya muaranya sama yakni "ketidaak percayaan kepada lembaga pendidikan resmi yang disebut sekolah" Hanya saja  ada beda lingkungan yang melingkupinya, pada tahun 80-an, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, berusaha terus meyakinkan masyarakat agar tetap mempercayai sekolah, dengan program-program yang berusaha menepis anggapan itu, namun saat ini sangat terasa kemendikbud terbawa oleh arus isue, bahkan memperlemah posisi instituso yang beranama sekolah dengan mendompleng isue HAM. 

Posko pengaduan kekerasan sekolah/bullying bagi penulis berarti meneguhkan pihak ektern sekolah unruk menangani masalah yang sebenarnya terjadi di sekolah. Ironisnya, sekolah justru dilarang membuat aturan hukuman yang memungkinkan sebagai tindakan preventif dari kejadian itu semua. Sangat terasa logika jungkir balik yang ditunjukan oleh kemendikbud, kalau tidak disebut jungkir balik, terjadi inkonsistensi dalam menangani pendidikan nasional kita. 

Mestinya, jika benar terjadi kekerasan/bullying masif di sekolah-sekolah, maka pengendaliannyanya adalah ada pada regulasi, peningkatan disiplin, sangat memerlukan aturan main, melanggar apa diganjar apa. Sebagai contoh dalam skala lebih makro, untuk diperoleh tatanan masyarakat yang tertib, maka sebuah negara menentukan hukum, pertauran perundang-undangan. Ketika seorang dihukum, katakanlah hukuman mati, seluruh dunia akan mendukung jika itu memang harus dihukumm mati, tidak ada mereka yang mencintai hukum kemudian mengkonfrontir dengan isue HAM. 

Analognya, dengan lembaga yang bernama sekolah, untuk menertibkan dan mencegah hal-hal yang melanggar ketertiban, sangat perlu adanya aturan sekolah yang efektif untuk hal itu. Reward and Punisment  merupakan hal yang sangat menyentuh hak paling dasar dari manusia itu sendiri, yang tidak perlu dikonfrontor dengan isue HAM dan Isue Perlindungan anak. Bahkan KPAI, pun harus melihat aturan hukuman bagi anak sekolah sebagai upaya untuk melindungi hak-hak kepndidikan anak dari gangguan anak lain. Sehingga jika ada masalah terkait dengan anak di sekolah perlu benar-benar dilihat dalam konteks kepentingan pendidikan anak tersebut dengan anak lainnya. 

Kembali pada pertanyaan semula, benarkah sekolah sebagai sumber kekerasan ? kalau pertanyaan itu ditujukan kepada saya, dengan jelas saya jawab Tidak ! penulis melihat, berbagai kasus kekerasan/bullying yang terjadi di sekolah hanyalah kasus-kasus acidential, yang justru penyebaabnya adalah kurang ditegakkannya peraturan sekolah, makanya hal itu lazim terjadi di seolah-sekolah yang longgar dalam menegakkan disiplin, dan untuk sekolah tertentu ada yang terkait dengankasus diskriminasi penegakkan aturan terkait dengan status/posisi orang tua siswa bersangkutan. 

Oleh karenanya, jika pihak-pihak yang tetap menganggap sekolah sebagai sumber kekerasan, maka jalan keluarnya adalah tegakkan peraturan sekolah yang efektif untuk satuan pendidikan itu. Perlu dicatat disini, peraturan sekolah juga dapat dirancang untuk membangun karakter unggulan dari sekolah tersebut sesuai dengan visi dan misi yang dirumuskan bersama. Disamping itu, tugas pemerintah adalah juga mengangkat derajat sekolah-sekolah dan juga guru dalam mengemban amanat konstitusi. Jadi Mendikbud sudah seharusnya  tidak " nggebukin"  sekolah dan Guru, tetapi membimbing dan mengayomi sebagai satu team, team indonesia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Semoga ada manfaatnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun