Membaca salah satu head line koran yang ditawarkan penjual koran pagi ini bertulisan besar yang terbaca "KPK Sudah Tidak Angker". fikiran penulis jadi meraba raba. Apakah tidak angker karena sudah tidak ada mahluk halus seperti dedemit, banas pati atau hantu Casablangka yang jalan-jalan ke sana, maklum konon gedung KPK baru, ataukah tidak angker dalam makna tidak menakutkan lagi karena tidak begitu wibawa ?
Ketika penulis baca subjudulnya "Tersangka dan saksi dipanggil tidak datang", maka tidak ada makna lain kecuali bahwa KPK saat ini tidak lagi menjadi tempat yang angker dalam artian bahwa wibawa KPK sangat merosot, bahkan bisa dikonotasikan tidak ada wibawa lagi, sehingga tersangka maupun saksi tidak mearas ewuh pekewuh untuk mangkir dari panggilan KPK. Entah panggilan dalam kasus apa, yang jelas jika keberadaan KPK sebagai lembaga ad hoc yang diharapkan mampu memiliki taring dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi sebagai amanat reformasi, mengingat lembaga penegak hukum dianggap lemah, maka keberadaan KPK, yang sudah barang tentu menambah cost yang harus dikeluarkan APBN perlu ditinjau kembali.
Peninjauan kembali keberadaan lembaga ad Hoc KPK bukan berarti kita menghapuskan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, tetapi lebih pada rasionalisasi kelembagaan dan efisiensi anggaran. Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi tetap berjalan dengan penguatan lembaga penegak hukum. Moment pergantian Kapolri adalah salah satu moment yang bisa dimanfaatkan untuk itu. Para komisioner KPK yang lembut (dalam kasus sumber waras dan reklamasi) bahkan lebih lembut dari mahluk halus yang tidak tampak sehingga tidak Angker Lagi, dengan ucapan terima kasih bisa kembali menjalankan tugas masing-masing. r Waras
Hilangnya keangkeran dalam makna sesuatu yang menakutkan yang merupakan imbas kewibawaan yang tinggi, tentu saja terpulang pada sepak terjang komisioner KPK yang sekarang bertugas di gedung KPK, jelas kasus-kasus terbaru sangat potensial menjadi pemicunya. Dalam kasus Sumber waras maupun Reklamasi, yang dilihat oleh umum adalah lemahnya posisi KPK dalam menghadapi Ahok, sehingga seolah KPK justru tunduk pada "Ahok", dan terlihat oleh masyarakat saat oknum komisioner KPK menyampakan perkembangan kedua kasus itu di hadapan awak media. Gesture dan bahasa verbal yang disampaikan sangat terasa oknum KPK ndepe ndepe terhadap Ahok (mungkin sebenarnya jalan ngesot kali ya ?).
JIka KPK buka mata dan buka telinga dan tidak menutup hati, maka sesungguhnya sangat banyak ahli hukum yang telah menyampaikan pendapat posisi Ahok dengan gamblang dan ceto welo welo. Bahkan keputusan PTUN Jakarta Timur yang menjelaskan sekian kesalahan Ahok pun sebenarya dapat dikaitkan dengan "apa yang Ahok terima" dan "apa yang Ahok berikan", dalam kontek tidak ada makan siang gratis. Sebagai misala, Apakah ada hubungan uang Rp. 500 juta yang pernah diterima Ahok dari Bos Podomoro dibalas dengan memberikan kemudahan izin oleh Ahok untuk reklamasi bagi anak perusahaan grup itu ? Atau apakah pertemuan-pertemuan intens Ahok dengan bos-bos yang dinyatakan oleh Sunny ada kaitan dengan hal-hal yang immateriil ?
Mencari hubungan keterkaitan tentu saja tidak harus terpaku dan terjebak pada "madzab dhohiri"" yang selama ini menjadi keahlian KPK melalui Operasi tangkap tangannya. KPK sudah sewajarnya mendalami "Mahdzab bathiniah", hal-hal yang imaterial terkait dengan bukti korupsi maupun gratifikasi. Madzab ini tentu lebih mengandalkan daya intelektualitas dan suara hari komisinoner KPK dalam menangkap sebuah fenomena. Menggunakan logika wajar dan mengartikulasikan keluh kesah suara rakyat menjadi bukti yang bermakna memang membutuhkan jihad tersendiri.
Hanya komisioner KPK yang sering melakukan dialog dengan pemegang kunci rahasialah yang akan mampu melakukannya. Sebab, cahaya-Nya akan mampu membimbing para komisioner itu berjalan dalam kegelapan yang kelam karena memang kasus-kasus itu telah dikonstruk sedemikian tertutupnya,dan didekor dengan topping yang begitu indahnya.
JIka KPK mampu membuat terang benderang kasus yang sedemikian buramnya, maka penulis yakin wibawa KPK akan semakin terpulihkan dan keberadaannya layak dipertahanakan, namun jika sebaliknya, hal-hal yang ceto welo welo yang orang lain telah bisa melihatnya namun ternyata bagi KPK dibuat buram melalui proses penutupan selembut apapun.
Maka nurani masyarakat tetap akan bisa menangkapnya, dan kewibawaan KPK tidak saja pudar di masyarakat tetapi juga terpuruk di hadapan mereka yang terlibat korupsi yang muaranya adalah kegagalan pencegahan dan pemberantasan korupsi itu sendiri. JIka amanat penegakkan hukum dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak dapat dijalaankan oleh KPK, maka wujudihi kaadamihi. adanya KPK sama saja dengan tidak adaanya KPK. Mubadzir toh?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H