Mohon tunggu...
Darwono Guru Kita
Darwono Guru Kita Mohon Tunggu... profesional -

**************************************** \r\n DARWONO, ALUMNI PONDOK PESANTREN BUDI MULIA , FKH UGM, MANTAN AKTIVIS HMI, LEMBAGA DAKWAH KAMPUS JAMA'AH SHALAHUDDIN UGM, KPMDB, KAPPEMAJA dll *****************************************\r\n\r\n\r\n\r\n\r\nPemikiran di www.theholisticleadership.blogspot.com\r\n\r\nJejak aktivitas di youtube.com/doitsoteam. \r\n\r\n\r\n*****************************************\r\n\r\nSaat ini bekerja sebagai Pendidik, Penulis, Motivator/Trainer Nasional dan relawan Pengembangan Masyarakat serta Penggerak Penyembuhan Terpadu dan Cerdas Politik Untuk Indonesia Lebih baik\r\n*****************************************

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Beratnya Memutuskan "Tidak Lulus"

10 Mei 2016   06:35 Diperbarui: 10 Mei 2016   10:18 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menurut Mendikbud RI, Anies Baswedan,  penurunan angka rata-rata nilai UN 2016 itu karena tingkat kejujuran meningkat, semakin banyak sekolah yang menggunakan ujian nasional berbasis komputer, kisi-kisi UN yang tidak lagi rinci sehingga siswa harus menguasai kompetensi.  Mendikbud memaparkan "Secara keseluruhan nilai rerata UN tingkat SMA/MA negeri dan swasta mengalami penurunan. Pada tahun sebelumnya, nilai rerata sebanyak 61,29 sementara pada 2016 nilai rerata hanya 54,78," Selanjutnya Anies mengungkapkan " , Dengan demikian, terjadi penurunan 6,51 angka jika dibandingkan nilai rata-rata UN tahun sebelumnya. Sementara, untuk hasil UN SMK menurun 4,45 angka, dari 62,11 (2015) menjadi 57,66 (2016)" 

Dengan nilai rerata hanya 54,78, sedangkan standar kelulusan 55,0 maka dapat dikatan UN 2016 untuk SMA negeri dan swasta secara nesional tidak mencapai nilai minimal kelulusan. Lebih lanjut Mendikbud menyatakan : Dia menyatakan, penurunan angka rata-rata nilai UN 2016 itu karena tingkat kejujuran meningkat, semakin banyak sekolah yang menggunakan ujian nasional berbasis komputer, kisi-kisi UN yang tidak lagi rinci sehingga siswa harus menguasai kompetensi". 

Ada beberapa kemungkinan alasan yang Mendikbud sampaikan dengan apa yang kami tuslis pada kompasiana edisi 5 Mei 2016 di bawah judul " Puskom Pentagon pun Bisa Dijebol". Pada tulisan itu kami mengungkapkan : Menurut hemat penulis, penurunan nilai rerata itu tidak bisa serta merta disimpulkan sebagai pengaruh UNBK. Sudah barang tentu banyak faktor yang mempengaruhinya, muatan kurikulum, tingkat kesulitan soal, teknis pengerjaan soal UNBK dll. "Kebrsihan" UNBK daslam makna UNBK terlepas dari kecurangan sangatlah perlu dipertanyakan, sebab faktanya beredar juga soal-soal download yang sama persis titik komanya dengan soal UNBK. Dalam tulisan itu kami sampaikan fakta tentang kebocoiran yang ada. 

Kembali pada masalah Ketidaklulusan, jika dilihat dari penurunan rerat yang mencapai level di bawah nilai minimal keluluasan, maka dapat dipahami banyak peserta didik SMA yang hasil nilai UN nya jauh di bawah 55. Namun sebagai sebagaimana berita yang beredar, tingkat kelulusan masih tetap sangat tinggi. Ini wajar saja karena sebagaimana penulis sampaikan pada tulisan di bawah judul : "Lulus 100 % Biasa, di Bawah 100 % Luar Biasa"  , Bagaimanapun juga budaya di dunia pendidikan kita, di sekolah-sekolah pada umumnya,  berlaku seolah-olah adalah sebuah aib, suatu hal yang mencoreng,  jika ada peserta ujian dari sebuah sekolah yang tidak lulus. Budaya ini terlihat jelas pada upaya untuk "mendongkrak" berbagai faktor agar memenuhi kriteria kelulusan. sebagai misal, zaman EBTANAs, sekolah, biasanya "mengutak-utik" komponen nilai P dan Q (Smester 5 dan 6) agar nilai minimal yang dicapai peserta didiknya bisa mencapai kriteria kelulusan (5,6). Bahkan n (indek nilai NEM) pun, ketika hasil Ebtanas jeblok oleh Depdiknas diturunkan seminimal mungkin, agar semaksimal mungkin peserta ujian lulus. 

Sepanjang 30 tahun menjadi pendidik, ada sekitar 4 kali ada dalam suasana memutuskan untuk "tidak meluluskan. Memang berat, memutuskan "tidak lulus" bagi siswa kita apa lagi bagi sekolah swasta dengan murid yang berasal darai kelas ekonomi bawah. yang kurang memenuhi persyaratan hanya beberapa poin dari nilai ujian, biasanya ada simphatik yang mengemuka, namun kita bisa pasrah karena aturan menghendaki begit.

Lain halnya ketika kita harus memutuskan bukan karena maslah nilai ujian yang kurang, tetapi karena sikap dan dan perilaku siswa bersangkutan. Kita dibawah pada suasana dilematis, meluluskan apa tidak terkait dengan pertimbangan terutama nurani sebagai pendidik, karena argumen yang harus kita kedepankan adalah dengan memutuskan itu kita meneguhkan sebagai pendidik atau bukan, kita berada pada idealisme pendidik atau pragmatisme perasaan.  

Dua suasana demikian penulis hadapi sekitar 20  tahun lalu (1996)  dan tahun 2016 ini. Namun dengan jernih hati dan keteguhan fikiran dalam menegakkan nilai-nilai idealisme pendidikan, meski tidak 100 % pada semua peserta didik yang bermasalah, keputusan untuk tidak meluluskan untuk "meremidi sikap/moral" peserta didik bersangkutan keputusan itu pun dapat dilakukan secara aklamasi dengan penuh pengertian. Untuk kasus 20 tahun lalu, saya penulis pantau melalui teman sejawat yang waktu itu turut memutuskan ternyata peserta didik tersebut berubah menjadi baik. Untuk keputusan yang sejenis tahun ini, penulis juga berharap demikian.

Kisah contoh "ketidak lulusan" yang kemudian melejitkan prestasi individu bersangkutan, penulis peroleh dari kisah Psikolog terkenal Dr. Djamaluddin Ancok (UGM, Yogya). Pada sebuah kuliah psikologi Islam di Pondok pesantren Budi Mulia, saat penulis menjadi santri di sana, Dr. Djamaluddin Ancok menceritakan beratnya menghadapi situasi baru yang berakhibat cobaan dalam srudynya. Namun dengan tumbuhnya kesadaran kondisi dapat diubah menjadi peacu keberhasilan dan akhirnya beliau skuses. Artinya, sebuah cobaan/kegagalan/ketidak lulusan dapat dimanfaatkan untuk memacu perbaikan asala kita mampu mengubah kondisi. 

Di tengah maraknya  berbagai keluhan rusaknya sikap/perilaku generasi muda/peserta didik, dunia pendidikan tentu menjadi ujung tombak perbaikannya  meski peran utam tetap ada pada tangan orang tua.  Apa lagi,  dalam kontek Refolusi mental, idealisme guru dan sekolah bisa dikembalikan untuk memperbaiki mental, sikap, perilaku  generasi penerus. salah satu cara yang dapat diambil adalah dengan benar-benar mempertimbangkan sikap/perilaku dalam penentuan kelulusan ataupun kenaikan kelas. Ketegasan ini, tentu saja bukan kaitannya untuk menghukum, tetapi semata-mata untuk kepentingan perbaikan, dalam kontek mendidik. 

Tidak meski harus sebanyak-banyaknya, tetapi memutuskan Tidak Lulus  paling tidak pada mereka yang paling berat sikap/perilakunya merupakan bukti ada niatan baik. Dimana diharapkan mampu menjadi "kaca benggala", cermin bagi peserta didik sesudahnya, untuk terus memperbaiaki sikap/perilakunya. Dengan jalan demikian pada ahirnya,   revolusi mental melalui pendidikan dapat terlaksana. Semoga. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun