Dalam wacana Jawa, guru diartikan sebagai figur yang digugu (dipercaya) dan ditiru (menjadi teladan). pada figur guru ada dua unsur penting yakni trust dan uswah. Namun di balik makna itu guru juga dianggap berperan sebagai figur glugu turu, batang pohon kelapa tidur,  sebagai titian, yang digunakan untuk menyebrang menuju tujuan perjalanan seseorang (siswa). Guru siap dijadikan titian, jembatan, yang siap diinjak-injak yang penting siswa sampai tujuan pendidikannya.Â
Fenomena glugu turu itulah yang kini dialami guru. guru dijadikan tumpuan keberhasilan pendidikan, kualitas pendidikan indonesia rendah dikembalikan ke guru, hasil ujian nasional rendah, guru yang didiskriditkan, ada tawuran, pelanggaran moral siswa hingga peringkat pendidikan Indonesia rendah diantara bangsa lain guru juga yang jadi sasaran kritik. Namun demikian, ketika ada siswa berprestasai, Â juara olimpiade apa saja, Â peran guru nyaris tak pernah terdengar.Â
Kita dapat pastikan, bahwa peran guru tidak lebih dari kambing hitam berbagai kegagalan pendidikan nasional. sebagai guru  yang banyak berinteraksi dengan temen-temen guru melalui berbagai media, saya bersyukur, bahwa guru-guru indonesia yang saya pahami, memiliki kecerdasan spiritual, kecerdasana sosial, dan kecerdasan emosional yang sangat tinggi, sehingga dijadikan kambing hitam pendidikan nasional untuk even apapun sahabat-sahabt guru Indonesia terus menjalani dedikasinya, mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan segala ramantikanya.
Sayangnya, kadang penulis melihat kritikan terhadap guru oleh para pengamat terlihat  kurang cermat , dengan  menggunakan generalisasi atau konklusi yang sangat invalid. sebagai contoh, kritikan yang disampaikan oleh seorang pengamat yang mengatakan "Gaji guru DKI sampai 18 juta, tetapi kualitasnya rendah dan menuirut data banyak yang tidak mengenal masalah  komputer". ini bukan saja sebuah generalisasi yang invalid, juga sebenarnya mengandung pelecehan terhadap guru DKI.Â
Generalisasi gaji guru DKI Rp. 18 juta/bulan  itu, sangat menyesatkan. Gaji sebegitu besar dapat data dari Hongkong ? mungkin ada yang gajinya sampai level itu, tapi  tentu bukan untuk rata-rata (untuk dijadikan generalisasi) sepertinya invalid. Karena  guru  di sekolah negeri yang honor pun, baru diusulkan sampai taraf 3 jutaan/bulan  (itu kalau terealisasi). belum lagi guru-guru di sekolah swasta DKI, hanya beberapa sekolah swasta yang lumayan, tetapi lebihnya adalah sekolah-sekolah yang menjadi penampung anak-anak bangsa yang terafkir dari persaingan ke sekolah negeri. dan dalam pengamatan kami  (juga diakui wali murid) yang diterima di sekolah-sekolah negeri adalah mereka dari keluarga mampu, meski ada beberapa yang dari keluarga biasa.Â
Konsekuaensinya sekolah-sekjolah swasta, menjadi penampung peserta didik yang kuarang mampu secara intelektual maupun ekonomi, dengan demikian daya bayar  biaya sekolahpun sangat rendah. sekali lagi penulis sangat mengapresiasi temen-temen guru swasta yang memahami betuil kondisi siswanya, sehingga guru-guru swasta tidak pernah terlibat dalam upaya menuntut gajinya naik, karena mereka memahami jika mereka menuntut gajinya naik maka mau tidak mau imbasnya adalah "bayaran siswa harus naik'.Â
Barapa sih gaji guru swasta menengah ke bawah ? Â Sebenarnya jika data dapodik memuat opsi gaji guru dari jam yang diampu, maka untuk mengetahui hal ini cukup tinggal di klik saja. Sayangnya hal itu belum terakomodir, seingga untuk keperluan kali ini, penulis mecoba menggunakan komparasi. Di sekolah kami, yang berada di posisi menengah dengan SPP (Rp.750.000/bulan), gaji rata-rata yang kami ketahui dari salah seorang pengelola adalah Rp. 1.500.000 (jauh di baea UMR), apalagi teman-teman yang mendidik di sekolah dengan SPP Rp.250.000/bulan, jika dihitung proporsional maka akan jatuh pada angka rata-rata Rp.500.000/bulan. ketika guru biologi DKi berkumpul dalam rangka pe;latihan, diskusi pendapatan guru di dKI di sekolah swasta, ada guru yang mengajar full satu minggu 40 Jam memngajar menerima gaji tiap bulan Rp.900.000. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, banyaj guru DKI yang mencati tambahan dengan menjadi tutor di bimbel, ojek online, tukang sampah, jualan kuliner, Â menajdi penonton bayaran, extras dll.
Kami melihat, dari statemen gaji saja pengamat tersebut sudah melakukan invalid dalam generalisasi, Â apalagi ketika harus menguraikan penilaiannya yang lain yang cenderung multitfasir. sebagi contoh, ketika kita bicara kompetensi guru, maka kita akan dapat mengajukan kompetensi yang mana dan data dari mana. Sebab sepanjang penulis menjadi guru di DKI belum pernah ada penilaian konfrehensif terhadap kompetensi guru yang memotret secara utuh kulaitas guru.
Menyimpulkan kompetensi guru dari data uji kompetensi guru (UKG) sangatlah tidak representatif, sebab UKG hanya mengcover 2 dari 4 kompetensi guru, dan jika ditelisik kualitas UKG dari sisi "penilaian pendidikan' sungguh jauh asap dari api, banyak kelemahan yang hasilnya tidak semestinya dijadikan paramater kualitas. Oke katakanlah jika hasil UKG valid, menurut data rata-rata 43, artinya dua kompetensi nilai totalnya 86, jika di tambah dua kompetensi lain, kompetensi kepribadian dan sosial (sesuai Undang-Undang) yang kita bisa melihat komitmen guru dalam menjalankan dedikasinya seperti telah dijelaskan di atas, katakanlah nilainga 95, maka dua kompetensi itu nilainya adalah 190, plus 86 maka nilai kompetensi guru lengkap adalah 276, rerata hampir mencapai 70 %, sebuah kompetensi total yang baik ditengah berbagai kekurangan.Â
Dalam hal penggunaan ICT, seertinya sangat ngawur jika dikatakan guru DKI banyak yang tidak mengenal maslah komputer. Sebab, sejak tahun 2006 (KTSP) bahkan sebelumnya kemendikbud sudah melakukan berbagai pelatihan ICT, bahkan dalam setiap pelatihanpun setiap guru harus membawa laptop, apalagi ketika memasuki musim sertifikasi. Dalam pengolahan nilai pun, guru-guru di DKI menggunakan SAS, kemudian ZIP. Jadi jika ada yang tidak mengenal komputerpaling mereka yang dalam kondisi khusus saja. Saya sendiri mengajar di dua sekolah kelas menengah bawa saja semua gurunya familier dengan komputer. Sangat disayangkan jika seorang pengamat, menggunakan sumber "bisik=bisik" teangga.Â
Artinya kita harus menelisik berbagai aspek lain selain  faktor guru, yang mengakibatkan kualitas pendidikan kita rendah. apalagi, dalam pardigma pendidikan yang tidak lagi memposisikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar, maka aspek lain juga perlu  dianalisis  secara cermat dan proporsional. Hal ini bukan berarti guru tidak perlu dikritik, tetapi jika mengkritik hendaklah memilah-milah, jangan menggeneralisasi sembarangan.Â