Mohon tunggu...
Darwis Faisal Maulana
Darwis Faisal Maulana Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Darwis Faisal Maulana, bertempat tinggal di dusun krajan 1, RT 7, RW 1 Tegalsari Banyuwangi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Pesisir Mimpi

11 Februari 2024   06:42 Diperbarui: 11 Februari 2024   06:54 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah desa nelayan yang memeluk erat persisir pantai Jawa, hiduplah seorang anak bernama Arman, seperti mutiara yang tersembunyi di antara pasir-pasir waktu. Desa itu, bukan hanya sebuah lukisan indah oleh sang alam dengan pantainya yang mempesona, tapi juga tambak udang yang menjadi nadi kehidupan penduduknya. Rumah-rumah panggung berdiri gagah, beradu tinggi dengan gelombang yang sesekali merajuk, mencium halaman mereka dengan lembut.

Arman, si bungsu dari tiga bersaudara, adalah pahlawan tanpa jubah di keluarganya. Ayahnya, Pak Darso, adalah kapten tanpa kapal, yang mengarungi lautan dan tambak udang, sementara ibunya, Bu Sari, adalah seniman yang mengukir seni dari udang, menciptakan kerupuk yang menjadi simfoni di lidah para pembelinya. Sejak dini, Arman telah diajarkan untuk bekerja keras, bagai pohon bambu yang lentur dihantam badai namun tak pernah patah.

Setiap hari, setelah sekolah, Arman tidak langsung menyerah pada pelukan istirahat. Ia berganti kostum, dari seragam sekolah ke pakaian pekerja, lalu berlari ke tambak udang, tempat ia bertransformasi menjadi jenderal kecil yang memimpin pasukan udang. Di sana, ia menyelami dunia lain, mengisi pakan, membersihkan tambak, dan memilah udang, seperti pelukis yang cermat memilih warna untuk paletnya. Kegigihannya bukan tanpa tujuan; ia bermimpi tentang dunia di luar desanya, tempat ia bisa mengejar pendidikan lebih tinggi, sebuah legenda yang belum pernah terwujud dalam keluarganya.

Namun, kehidupan, seperti laut, terkadang menawarkan badai. Sebuah dilema muncul, seperti dua jalan di hutan yang tak bisa ditempuh bersamaan. Di satu sisi, ada tawaran beasiswa, seperti kapal penyelamat di tengah badai, yang bisa membawa Arman ke dunia baru. Di sisi lain, ayahnya mengalami kecelakaan, seakan ombak besar menghantam kapal mereka hingga hampir tenggelam. Desanya, yang selalu berdenyut seperti jantung, kini membutuhkan Arman lebih dari sebelumnya.

Duduk sendirian di tepi pantai, Arman berdialog dengan ombak, yang seperti sahabat lama, berbisik tentang pilihan yang harus dibuat. "Apa yang akan kamu pilih, Arman?" tanya ombak, dengan sabar mendengarkan.

Keputusannya untuk tetap di desa, bukanlah akhir dari cerita, tapi awal dari sebuah legenda. Arman, dengan keberanian yang melebihi usianya, memutuskan untuk menjadi jembatan antara dua dunia - dunia di mana ia bisa membantu keluarganya dan tetap mengejar pendidikannya. Ia menjadi seperti pohon yang akarnya kuat menancap di tanah, tapi daun-daunnya meraih langit.

Tahun berlalu, dan seperti matahari yang selalu terbit setelah malam tergelap, kesempatan datang kembali kepada Arman. Kali ini, ia siap. Dengan dukungan dari seluruh desa, yang kini berdiri di belakangnya seperti pasukan yang siap berperang, Arman berangkat ke kota, membawa mimpi dan harapan desanya di pundaknya.

Ceritanya, yang kini diceritakan di sekitar api unggun dan di balik layar ponsel, bukan hanya tentang seorang anak desa yang berjuang melawan arus. Ini adalah epik tentang kegigihan, kasih, dan mimpi yang, seperti sungai, selalu menemukan jalan ke lautan.

Di akhir cerita, Arman tidak hanya kembali sebagai pahlawan dengan gelar akademis, tapi sebagai pembawa obor, menerangi jalan bagi generasi yang akan datang. Desanya, yang pernah hanya dikenal sebagai desa nelayan di persisir pantai, kini juga dikenal sebagai tempat lahirnya bintang-bintang yang bersinar terang, berkat anak yang pernah berdialog dengan ombak dan memilih untuk mengarungi badai demi masa depan yang lebih cerah bagi semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun