Â
Eksekusi hukum adalah mahkota keadilan bagi pelaku kejujuran dan kepatuhan atas kebenaran. Hukum memiliki hakekat terhormat. Walau pada kenyataannya, atas "kepenuhan" produk hukum terkadang masih dapat menyisakan rasa "kecukupan" akan ketidakadilan di peradilan yang terhormat itu. Apakah hukum apa adanya atau ada apanya? Hukum memang "belum" mampu terhindar dari olok-olokan dan pergunjingan karena sisa keadilan selalu bisa "dijual" dan "dirampas." Hukum memang "belum" gagah mengaburkan cermin ketidakadilan hingga yang tampak hanya satu kebenaran. Siapakah yang mengabdi pada hukum? Adalah orang menempatkan hukum di atas dirinya dan meninggalkan dirinya karena dia tak "memiliki hak atas dirinya" selain melayani seperti seorang hamba. Pemutus hukum tak berarti abdi hukum apalagi hamba hukum yang konsisten dengan nurani kebenaran. Abdi hukum memang dapat "terambil" oleh penguasa, dan bahkan "terinjak" dijalan kebenaran, kejujuran dan keyakinan yang selalu ia setia jalani sebagai abdi dan hamba hukum kebenaran. Tetapi ia tetap "ikon" abdi yang abadi. Abdi abadi tidak akan pernah bermegah melihat kelebihan yang menggoda. Tetapi ia hanya bermurah atas kecukupan yang ada, dan berusaha mencukupkan yang masih berkekurangan untuk sejahtera bersama. Yang bertahan adalah orang yang sudah teruji imannya tanpa harus mengobarkan dirinya adalah yang paling benar di dunia.  Ahok adalah abdi hukum sejati dan hamba kebenaran atas keyakinan berdasarkan iman percayanya. Terbukti ia sadar betul bahwa ia tidak "memiliki hak atas dirinya" karena secukupnya dirinya, ia ada untuk melayani diluar dirinya dengan sepenuhnya. Kesadaran dengan prioritas pengabdian hanya membutuhkan kebenaran keadilan. Itu sudah cukup dan tak perlu berlebihan. Karena lebihnya pun bisa jadi "rebutan ketamakan." Masihkah ada "sisa keadilan" untuk kebenaran bagi abdi abadi? Silent majority terguncang dan menyeruak keluar dengan suara lantang kebatinan hingga mampu mencatat revolusi berseri, bukan aksi berjilid. Revolusi bunga sudah mengaromai sejagat bumi berkat kepulan asap perbakar bunga yang sudah mati hati. Revolusi balon yang terbang tinggi hingga menghiasi bumi pertiwi yang masih penuh iri dan dengki. Revolusi lilin kecil yang setia bercahaya menyinari bagi hati yang gelap akan keadilan ini. Mereka, kami, kita tak lagi mau terpenjara oleh kebisingan dan kepekikan suara kebencian di negeri ini. Ujaran yang sudah menjalar akibat kekuatan "nyamuk sampah" yang terus mengitari jiwa-jiwa yang mudah "terkotori" dengan "ancaman" manis kedengkian dan keirian disana-sini perlu "zat-zat" pembersih dengan berkeadilan yang tegas dan mangayomi. Sisa Keadilan harus direbut. Ditanam kembali. Disemai sepenuh hati, hingga berakar kuat dan berbuah lebat di bumi NKRI. Buahnya adalah seribu "Ahok" yang tumbuh kemudian dari satu pangkal bernama Ahok yang terpenjara ketidakadilan saat ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H