"Jangan engkau mencintai dan bercinta dengan orang lebih sinting denganmu" demikian ungkapan kehati-hatian dalam menempatkan diri kita terhadap orang lain. Mencintai dan bercinta tak ubah seperti ada kebutuhan dan hasrat. Jika keduanya tidak terpenuhi ada rasa “menderita”. Mendapatkan kebutuhan tak sekadar memenuhi hasrat, maupun sebaliknya. Lantas, apa hubungannya dengan agama?
Memilih agama bisa semudah memilih pasangan. Jika memilih agama untuk mencari Tuhan, apakah semudah memilih agama mencari Tuhan? Konon ada sepuluh ribu lebih agama ada di seluruh dunia, dan di Indonesi kurang dari sepuluh agama yang diakui oleh pemerintah. Sebebas memilih pasangan, tetapi terbatas memilih agama. Dengan demikian, apakah kita bebas memilih Tuhan?
Sebebas kita kita memilih agama, sering mengundang pertanyaan; “apakah kau sudah menemukan Tuhan-mu?” Agama sering meng-klaim bahwa Tuhan-nyalah yang paling benar, “Emang ada lagi Tuhan selain Tuhan-mu?” Jika demikian, perlukan dalam memilih agama memakai akal sehat agar upaya mencari Tuhan tidak sesat?
Kemungkinan pertikaian agama yang terjadi akhir-akhir adalah karena “kesesatan” kita mencari Tuhan. Agama hanya mengandalkan tafsir masing-masing yang seolah-olah hanya mempertentangkan Tuhan. Padahal, jika kita sudah mengaku menemukan Tuhan, mengapa lagi kita mempertentangkan Tuhan orang lain.
”Sudahkah engkau menemukan Tuhan-mu?”
Memakai pikiran sehat tentu sangat penting, dan, mengandalkan kebaikan nalar juga tak kalah penting dalam memilih agama. “Nalar adalah pelayan yang baik, tetapi bukan pemimpin yang baik”, G.K.Chesterton. Dalam hal menempatkan pikiran dan nalar untuk memenuhi kebutuhan dan hasrat di dalam memilih agama, apakah sudah menemukan Tuhan?
Kualitas keimanan tentu akan memenuhi kebutuhan dan hasrat atas “perjumpaan” dengan Tuhan. Keberadaan agama seharusnya mendekatkan “perjumpaan” dengan Tuhan? Pertanyaan selanjutnya, “Apakah kau sudah menemukan Tuhan-mu, dan Tuhan yang mana?” Mungkin bisa jawaban kita adalah; “sudah atau belum” Jawaban ini mungkin terletak pada bagaimana kita memilih agama, atau, kita “diharuskan” mencari Tuhan dengan memilih agama. Perlukah agama dalam mencari Tuhan?
Jika tidak ada agama, maka ada lagi mengajarkan seperti pengetahuan bahwa air mendidih itu adalah panas. Padahal, agama harus mengajarkan bahwa air mendidih tidak baik disirimkan pada diri sendiri apalagi kepada orang lain. Tentu tidak ada kebencian, tetapi ada kasih.
Kecerdasan spritual tidak hanya melarang mendoakan kebohongan, tetapi meluruskan kebenaran dalam hal risiko apapun. Kebenaran tidak seperti memilih mobil, dan tidak semudah memilih agama. Jangan “membungkus doa kebohongan” kepada Tuhan dengan ritual-ritual agama. Beriman hanyalah kepada Tuhan, bukan kepada agama. Iman bukan pembuktian ajaran keagamaan dan pengetahuan, tetapi melampui keduanya.
Pengetahuan agama banyak mengajarkan tentang Tuhan, lupa mengenalkan kepada Tuhan, sehingga “miskin” perjumpaan dengan Tuhan, tetapi lebih banyak “mempertentangkan” Tuhan.
“Seorang pria harus jatuh cinta dan bercinta dulu untuk mengetahui banyak pikiran gadis pujaan” Apakah kita harus fanatik dulu dengan pemimpin agama agar kita dapat mengikuti pikiran Tuhan? Ungkapan, “Menghormati agama pilihan orang lain adalah orang yang mencintai Tuhannya.” Jatuh cinta kepada Tuhan hanya sesederhana manaruh hormat kepada orang lain.