Mohon tunggu...
Darwin Raja Unggul Munthe
Darwin Raja Unggul Munthe Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Berpikir seperti orang bodoh sehingga giat untuk selalu belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fatwa di Tengah Refleksi Natal

28 Desember 2016   10:59 Diperbarui: 29 Desember 2016   10:08 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Fatwa perihal “Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim” bukan kejutan yang perlu ditakutkan, karena hal demikian merupakan anutan sah dalam aturan beragama. Mencermati perihal demikian, sikap diri (iman) menjadi hal penting. Menanggapi fatwa demikian, tidak harus dengan pemburuan berita dan pengumpulan berbagai wacana. Kualitas iman tidak juga melakukan aksi serbuan dan sebaran cercaan. Fatwa, anggap saja sebagai ajakan untuk kita memandang dari jauh, dan di posisi sudut kedangkalan pikiran, namun secara bersamaan melihat titik fokus dengan membuka hati yang lapang.

Fatwa bukanlah upaya dalam sangkaan terhadap satu agama kepercayaan, dengan demikian tak eloklah ada upaya bertubi-tubi hak pembelaan seperti atas dakwaan. Menepis fatwa adalah kekoyolan jika kita lolos mencari aspirasi dan refleksi iman didalamnya. Keberadaan akan kekentalan fatwa sebaiknya menjadi bagian yang menguatkan akan kontruksi, dan sekaligus korektif iman bagi non-Muslim, terutama bagi pemeluk agama Nasrani.

Dengan demikian instruksi fatwa harus disikapi dengan momen menarik diri – refleksi, untuk melihat terang hati dari gelapnya mata dunia. Reaksi terhadap fatwa tidak harus mereduksi pikiran kuatir akan ketakutan berlebihan. Tidak pula harus mendagradasi sikap kasih karena satu anggapan (ditujukan) atas kecemburuan, iri dan sentimen agama. Bukan itu.

Keharuan bagi manusia beriman akan perihal terbitnya fatwa adalah kemunduran dan kemogokan iman. Dengan mata iman, maka fatwa dapat dijadikan sebagai kebangunan rohani dengan rentetan penguatan iman percaya, daya ungkit akan terus dalam sikap mengasihi.

Terkait fatwa akan Natal, menggelorakan Natal memang tidak harus dengan sorak-sorai, menggemakan Natal tak mesti juga menggempitakan duniawi. Ancaman serbuan di malam kudus pun tak musti jadi kemalangan orang beriman, namun Terang Ajaib itu menyinari hati dengan cakrawala sinar kasih bagi sesama. Fatwa, mengiring orang beriman menuju kesempurnaan.

Manusia beriman pun harus mampu merelasikan fatwa ini dengan fakta beriman (karakter) Ilahi. Karakter manusia beriman melihat fatwa dengan sikap permakluman, yang jauh dari anggapan pemandulan iman.

Kembali, fatwa akan mengingatkan kita sejenak akan makna simbol, atribut dan aksesoris agama yang “ditentang”. Pencabutan, pelarangan dan peniadaan semacam atribut Natal tidak serta merta akan menanggalkan gelora iman percaya. Perayaan Natal pun tidak mesti penuh dengan rona melalui keindahan seremonial. Natal adalah warta untuk mempertebal warna hati yang mengasihi dengan kerendahan hati. Iman Kristiani tidak harus terpengaruh dengan pelarangan simbol, atribut dan aksesoris agama yang melekat. Perwujudan keimanan Kristiani seharusnya dalam penampilan karakter Ilahi. Karakter terjadi karena pemenuhan (diisi) oleh pikiran Tuhan, dan, pemenuhan akan memberi arah kehidupan sesuai kehendak Tuhan. Manusia tak sanggup menangkap pikiran Tuhan tanpa anugerah, sehingga fatwa tidak penghalang bagi Firman.

Fatwa memang muncul ketika atribut dianggap sebagai pembeda agama, bahkan mungkin sebagai “penoda” kepercayaan. Hal ini tidak salah karena fatwa adalah aturan manusia dalam keberagamaan. Dengan demikian, penghilangan akan atribut keagamaan bukan sesuatu yang mengganggu pertumbuhan iman, karena agama dengan berbagai atribut tidak menyelamatkan tetapi iman percaya adalah jalan keselamatan.

Fatwa akan menjadi refleksi bagi umat Kristiani, memuji akan kebesaran Tuhan dapat dan tanpa atribut, tetapi utama adalah dengan perisai kesederhanaan dan kerendahan hati. Kedekatan dengan Tuhan bukanlah dengan banyaknya atribut yang menempel pada diri, tetapi apa yang tercermin dari sikap hati. Kesederhanaan bukan berarti tidak ada kemewahan. Kesederhaan sikap adalah kesempatan memberikan ruang pada sesama, dan kemewahan iman adalah konsistensi menjalankan pikiran Tuhan. Fatwa harus ditandingi dengan kesederhanaan sikap dan kemewahan iman. Dengan demikian maka fatwa manusia akan memberi rona dalam gelora dan gempita Natal.

Makna peringatan kelahiran-Nya sangat kental dengan kesederhanaan dan penolakan. Fatwa mengingatkan akan atribut sebagai pembeda - penolakan agama hendaklah menjadi renungan.

Tuntunan iman tidak seharusnya berlandaskan pada atribut, tetapi beralaskan pada akrobat iman. Pemeliharaan akrobat iman adalah dengan atribut kasih yang terselenggara terus-menerus bagi sesama. Fatwa tidak memakai iman kita untuk saling memaki, tetapi fatwa kita pakai untuk saling mengerti. Amin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun