Masih perlukah sekolah kita?
Pertanyaan diatas adalah refleksi atas realitas pendidikan kita saat ini. Kita memasuki era dimana semua hal tidak dibatasi oleh apapun. Semua lini kehidupan terbuka untuk diakses oleh siapa pun, kapan pun. Anda membutuhkan bakso saat ini, tinggal memesannya via aplikasi online, GoFood. Hanya butuh waktu lima menit, bakso yang Anda idamkan sudah ada di depan pintu rumah.Â
Anda harus ke suatu tempat tapi tidak punya kendaraan, Anda hanya perlu gawai kecil di tangan Anda untuk memesan alat transportasi online semacam Grab atau Gojek. Anda tidak harus memiliki uang ditangan untuk membeli sesuatu di supermarket. Dompet digital di Playstore tinggal Anda download. Semua serba instan.
Ini jaman instan. Instan karena semua hal cukup mudah diperoleh. Hampir tidak ada sekat pembatas untuk kita bereksplorasi atau mendapatkan hal yang kita inginkan. Pertanyaannya, siapkah kita menjemput era serba instan ini? Lalu, siapakah yang paling bertanggung jawab dalam mempersiapkan generasi tangguh yang mampu menghadapi kecanggihan teknologi dan arus globalisasi ini?
Tentu saja kita semua tahu, lembaga pendidikanlah yang terdepan mengemban tugas dan tanggung jawab. Meski bukan satu-satunya, tapi misi utama pendidikan adalah mempersiapkan generasi masa depan yang mampu menghadapi tantangan global.
Masalahnya, sistem pendidikan kita belum benar-benar siap untuk itu. Sistem pendidikan dan kurikulum pendidikan kita masih konvensional. Lulusan yang dihasilkan belum mampu bersaing di era teknologi canggih dan digital ini. Atau setidaknya mampu memahami pasar persaingan. Pasar ekonomi sekarang berbicara tentang cryptocurrency, bitcoin, dogecoin, metaverse, blockchain, dan lainnya.
Apakah kurikulum sekolah mengajarkan itu? Hampir pasti tidak. Saat ini yang sedang menjadi trending topic, seorang anak muda yang mendadak menjadi miliarder gara-gara menjual foto selfie di situs OpenSea. Ia adalah Gozaly Everyday, yang menjadi miliarder muda gara-gara menjual NFT. Apakah ia dapatkan hal ini dari sekolah? Tidak! Ia belajar otodidak.
Belum lagi kalau kita berbicara lugas tentang kondisi lapangan pendidikan kita, baik di lembaga pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi.
Bayangkan masih ada guru yang belum bisa mengoperasikan komputer. Apalagi jika berbicara tentang e-perpus atau perpustakaan digital, daftar hadir digital, atau laboratorium digital. Disamping sarana  dan prasarana yang belum memadai, SDM di lingkungan lembaga pendidikan pun belum cukup.
Di lembaga pendidikan tinggi, masalahnya kurang lebih sama. Sistem pendidikan belum mampu mempersiapkan lulusan siap pakai. Isi materi perkuliahan masih berkutat pada diktat-diktat maupun jurnal yang kaku, yang penuh dengan teori-teori konvensional. Masih ada dosen yang mempersulit siswanya menyelesaikan masa studinya dengan cepat.
Selain itu, dosen-dosen pun masih mengejar karya ilmiah agar bisa muat di jurnal internasional, yang susah diakses masyarakat umum dan kaku untuk dibaca.Jarang sekali dosen yang menulis hal-hal praktis dan realistis terkait fenomena-fenomena di masyarakat.
Di masa depan, dengan kehadiran teknologi Artificial Inteligency (AI), semua sektor pekerjaan bisa digantikan robot. Ada banyak keuntungan disana. Perusahaan tidak lagi repot dengan buruh yang meminta kenaikan gaji atau alasan capek. Robot bahkan bisa bekerja 24 jam. Efisiensi pekerjaan pun tercapai.