Mohon tunggu...
Daru Nurdianna
Daru Nurdianna Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

--

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Seputar Pengembangan Integrasi Ilmu Agama dan Sains

9 November 2019   06:26 Diperbarui: 7 April 2020   23:25 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedikit saya awali tulisan singkat ini dengan cerita pengalaman saya kuliah di kampus yang memiliki iklim yang berbeda. Jadi, sangat berbeda rasanya, suasana di kelas kampus Islam dan kampus berbasis intelektualisme Barat (baca: kampus sekuler). Jadi memang, ceritanya, adanya kampus Islami ini, adalah salah satu bentuk ril dari gerakan integrasi ilmu, atas hagemoni keilmuan barat yang dualistik, yang diperjuangkan oleh Ulama kita dulu demi membebaskan diri dari belenggu kolonial dalam keilmuan. Sebagaimana yang dijelaskan di Disertasinya Pak Ari Anshori yang berjudul "Paradigma Keilmuan Perguruan Tinggi Islam".

Di sini, Agama dan sains diintegrasikan dan di sepakati bukan entitas yang terpisah sehingga suasan kelas dan riset kental dengan nilai religius. Namun integrasi ini, tentu masih berkembang banyak kekurangan, karena ia relevan dengan kedalaman penguasaan Agama dan kemajuannya penguasaan sains dan teknologi.

Terlepas dari perbedaan madzab pengembangan sains Islam, antara islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, pengilmuan islam, rekonsiliasi sains Barat dan Agama Islam, dan integrasi-interkoneksi ala UIN Suka, dan juga terlepas dari jenis metode dan metodologinya yang filosofis-epistemologis atau yang bersifat praksis seperti di UMS yang memakai cara interkoneksi saja dengan adanya pesantren mahasiswa, mentoring, dan program twinning, perkembangan integrasi ilmu, secara umum ditentukan dua hal.

Pertama, bagaimana dan sejauh mana umat atau peneliti atau saintis itu memahami Agama. Pemahaman religiusitas ini berlaku secara umum, namun jika ia memakai pendekatan filosofis-epistemologis, maka bagaimana ia memahami tauhid, usul fiqh, ilmu kalam dan filsafat Islam sangat menentukan.

Kedua, bagaimana dan sejauh mana umat atau peneliti atau saintis itu memahami dan mengembangkan sains dan teknologi. Kita hidup di Indonesia. Negara berkembang. Negara terjajah. Bagaimana perkembangan sainteknya? You know lah. Masih sangat jauh tertinggal. Masih banyak import ilmu pengetahuan dan teknologi dari luar. Juga, kebanyakan pengembang integrasi ilmu di PTI masih dalam ranah ilmu sosial-ekonomi. Ilmu alam dan teknologi masih minim dari kampus Islam. Termasuk ilmu sains pertanian kontemporer masih minim sekali pembahasan. Padahal dalam domain pertanian ini ia akan mencakup sains alam, teknologi, dan sains sosial.

Artinya, pengembangan sains di Indonesia masih banyak kekurangan juga, terutama natural science dan technology. Sehingga ini mempengaruhi kualitas ilmunya dan mempengaruhi aspek aksiologis dari ilmu sains yang sudah diislamkan tersebut. Tentu ini ada sisi kefatalan, karena ilmu sains islam itu untuk apa jika belum bisa bermanfaat untuk menyelesaikan atau meringankan persoalan umat? Apa hanya sekedar wacana filosofis yang diperdebatkan? Sebuah pengingat bagi penulis sendiri. Wallahua'lam []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun