Mohon tunggu...
Daru Nurdianna
Daru Nurdianna Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

--

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Konsep Kausalitas dan Ilmu Pengetahuan al-Ghazali dan Ibnu Rusyd

31 Oktober 2019   23:05 Diperbarui: 7 April 2020   23:12 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertentangan antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat mendapatkan perhatian besar oleh orang-orang Barat. Banyak orientalis yang meneliti pemikiran kedua tokoh ini. Buku al-Ghazl yang berjudul "Tahafut al-Falasifah" diterjemahkan oleh penyalin Latin zaman pertengahan dengan judul "Destructio Philosophorum". Buku Ibnu Rusyd-yang dikenal sebagai Averroes' yang berjudul "Tahafut at-Tahafut" diterjemahkan "Destructio Destructionis (or destructionum)". Kata 'Tahfut' tidak mudah diterjemahkan secara tepat (exact). Kata ini telah diterjemahkan oleh sarjana modern dalam beberapa metode, dan judul dari bukunya al-Ghazali diberi judul 'the disintegration', atau 'the incoherence, of the philosophers'

Dalam pertarungan antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, selain doktrin emanasi, hakikat alam (fisika) dan ketuhanan (metafisika) Aristotelianisme dan Neoplatonisme al-Farabi dan Ibnu Sina, adalah mengenai hukum kausalitas itu sendiri dan dampaknya terhadap konsep ilmu pengetahuan. Al-Ghazali menolak pemikiran hukum sebab-akibat dari pihak falasifah yang diyakini pasti secara universal. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam disertasinya di ISTAC-IIUM yang berjudul "al-Ghazali Concept of Causality; with Reference to His Interpretations of Reality and Knowledge", menerangkan bahwa pemikiran al-Ghazl dalam ilmu pengetahuan ('ilm), objek (al-ma'lum), realitas, dan pandangan kosmologis-epistemologis membawa pertanyaan-pertanyaan besar oleh Ibnu Rusyd yang berujung pada serangan yang serius kepada kerangka epistemologisnya. Al-Ghazali dituduh menegasikan ilmu pengetahuan karena menyakini hubugan sebab dan akibat itu tidak pasti dan menyerang asumsi dasar teori kausalitas Aristoteles. Ibnu Rusyd mengatakan demikian:

"...Now intelligence is nothing but the perception of things with their causes, and in this it distinguishes itself from all the other faculties of apprehension, and he who denies causes must deny the intellect. Logic implies the existence of causes and effects, and knowledge of these causes. Denial of cause implies the denial of knowledge, and denial of knowledge implies that nothing in this world can be really known, and that supposes to be known is nothing opinion, that neither proof nor definitions exist, and that the essential attributes which composes definitions are void. The man who denies the necessity of any item of knowledge must admit that even this, his own affrmation, is not necessary knowledge." - Ibnu Rusyd, Averroes' Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of Incoherence)-Terj. Bahasa Inggris dari Bahasa Arab dengan pendahuluan dan catatan oleh Simon Van Den Bergh, (UK: Cambridge University Press, 1954), hlm 319.

Sebenarnya, al-Ghazali tidak menolak hukum kausalitas secara mutlak menyeluruh, namun hanya sebagian saja. Di dalam kepastian gerakan alam, ada titik dimana kehendak Tuhan berkuasa. Ia berdiri atas perbedaan antar keyakinan para mutakallimun. Pertama, Tuhan sebagai Wujud Yang Hidup, yang memiliki perbuatan mencipta berdasarkan kehendak-Nya, dan karena itu pula disifati sebagai pelaku dan bukan sebab. Kedua, percaya bahwa dunia diatur oleh hukum kausalitas, yang telah ditanamkan di dalamnya oleh Tuhan pada saat penciptaan, yang berjalan di bawah pengawasan Tuhan dan tunduk pada kehendak-Nya. Ia percaya pada hubungan sekuensial antara entitas dan peristiwa, dan mengakui adanya sebab-akibat pada peristiwa alam. Maka, sebenarnya al-Ghazali menengahi dua posisi yang berlawan antar mutakallimn itu, dan mekanismenya dicontohkan seperti jam air, yang dimana ia bergerak atas kehendak pembuatnya.

Pandangan al-Ghazali memang berbeda dengan rantai sebab-akibat dengan prinsip-prinsip yang dianut kalangan falsifah yang sekular. Konsep kausalitas al-Ghazali dalam tindakan manusia mengikuti ajaran mutakallimun tentang usaha (kasb). Ia memposisikan diri diantara dua ekstrim (mu'tazilah dan kalangan determinis). Jadi, perbuatan manusia itu sukarela atau bebas tetapi ditentukan melalui kekuasaan Tuhan dengan penciptaan (ikhtira'an) dan melalui kemampuan manusia mengusahakannya (iktisaban).

Maka, dalam konteks penegasian ilmu pengetahuan, pandangan tentang penolakan kepastian kausalitas yang dijelaskan oleh al-Ghazali, tidak berarti juga menegasikan pengetahuan, sebagaimana yang Ibnu Rusyd tuduhkan. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam disertasinya mejelaskan:

"al-Ghazali menanfsirkan makna pengetahuan sebagai gambar yang sesuai dengan objek yang dikenal atau dengan realitas sebagai realitas itu sendiri ('ala ma huwa bihi). Namun pengamatan tentang simultanitas atau koeksistensi peristiwa-peristiwa tidaklah membuktikan bahwa sebab-akibat itu pasti terjadi. Argumen ini enam abad kemudian diadopsi oleh David Hume (1711-1776) yang menyatakan bahwa observasi terhadap kejadian yang simultan atau ada bersamaan (co-existence) tidak membuktikan bahwa kausalitas itu terjadi secara pasti..."

Daru Nur Dianna

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun