Di antara sekian banyak pasar tradisional di Jogja yang pernah saya kunjungi –pasar Beringharjo, Giwangan, Lempuyangan, Karangwaru, Condongcatur, Gamping, Godean, Klithikan Kuncen, Sentir Malioboro, Terban, Ngasem- maupun pasar-pasar lain yang belum sempat saya kunjungi, entah kenapa saya justru lebih tertarik mengulas Pasar Kranggan dalam kesempatan yang membahagiakan ini.
Namun sebelumnya, melalui tulisan ini pula, -meski sepertinya tidak begitu penting bagi pembaca- agaknya saya juga perlu menyatakan kecintaan saya pada pasar tradisional sebagai tempat belanja (saya suka masak dan berburu pakaian murah *ups). Barangkali karena sejak kecil saya hidup (dari/di) pasar, tersebab profesi ayah dan ibu saya adalah pedagang pasar tradisional. Dari sini kita bisa memetik pelajaran, kebiasaan dan di mana kita hidup ternyata memberi pengaruh yang luar biasa hebat dalam hidup kita. Jadi, buat para orang tua, sangat dianjurkan untuk mengakrabkan anak-anaknya dengan pasar tradisional. Kali aja mereka kelak dapat menjadi salah satu penggerak kemajuan pasar tradisional atau bahkanmenjadi pebisnis besar karenanya.
Kembali ke pasar Kranggan, dalam pandangan (mata dan bathin) saya, pasar ini justru lebih menarik dari pasar sekelas Beringharjo misalnya. Pasar yang berada di jalan Diponegoro Kota Jogja ini berada tepat di tengah kota, jarang dikunjungi wisatawan mancanegara maupun domestik sebagaimana pasar Beringharjo, lokasinya berdekatan dengan ikon bersejarah, Tugu Jogja. Selain itu para pedagang di pasar Kranggan juga ada yang sampai berjualan di jalan Poncowintan dan tepi jalan AM. Sangaji. Meskipun demikian, kita tak perlu khawatir terjebak kemacetan ketika hendak melewati jalan sekitaran pasar Kranggan, karena nyatanya selama ini memang jarang sekali ada kemacetan di daerah ini, kecuali kalau ada insiden tertentu.
Hidup di tengah kota, pasar ini masih terlihat gagah bertahan menghadapi dinamika hidup perkotaan (baca : modern), yang saat ini cenderung kapitalis, materialistis, dan individualis. Pendeknya, pasar Kranggan masih terlihat sebagai sebenar-benar pasar tradisional.
(kini penyebutan pasar tradisional dianjurkan diganti dengan “pasar rakyat” oleh pemerintah, meski dalam tulisan ini saya akan tetap menggunakan frasa pasar tradisional. Karena saya takut penyebutan pasar rakyat ini akan mereduksi kepemilikan pemerintah dan pihak swasta terhadap pasar –aktor pembangunan terdiri atas pemeritah, rakyat, dan swasta. Saya berharap penyebutan pasar tradisional ini akan berpengaruh pada sikap dan cara berpikir kita agarbertindak dan selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun-temurun dalam berbelanja dan berjualan, sebagaimana yang telah nenek moyang kita wariskan melalui pasar tradisional).
Menghadapi zaman yang serba modern ini, pasar Kranggan justu tetap menonjolkan aktivitas murninya sebagai pasar tradisional, sebagai wadah interaksi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat Jogja : ada tawar menawar, kelakar, danutang- piutang antara penjual dan penjual, penjual dengan pembeli, maupun antara penjual dengan koperasi pasar. Fenomena yang demikian ini tidak akan mungkin kita temukan di pasar modern (Mall, Hypermarket, Supermarket, Departemen Store, Shopping Centre, Mini Market atau apalah namanya).
Dan yang tak mungkin saya lewatkan dalam tulisan ini adalah bahwa pasar Kranggan merupakan saksi sejarah kebersahajaan dan kewibawaan Raja Ngayogyakarta, Sri Sultan Hemengkubuwono IX. Sebagaimana termaktub dalam buku Takhta Untuk Rakyat (Ed. Atmakusumah, 1982) :
Wanita pedagang beras ini berasal dari daerah Kaliurang, Sleman. Waktu ia menunggu kendaraan di tepi jalan, dari kejauhan dilihatnya sebuah kendaraan jip meluncur ke arah selatan. Wanita inimemberhentikan jip tersebut karena hendak menumpang ke pasar Kranggan. Ia memang biasa nunut-nunut (numpang) kendaraan yang datang dari utara menuju selatan, dan pulangnya juga nunut kendaraan dari arah sebaliknya. Ongkosnya pun sudah diketahui, berapa rupiah rata-rata untuk satu kali menumpang.
Jip tersebut berhenti di depan pedagang wanita tersebut. Seperti biasanya, dia menyuruh sopir kendaraan itu mengangkat bawaannya, beras entah berapa karung, untuk dinaikkan ke dalam jip. Sopir itu pun mengikuti perintahnya.
Setiba di pasar Kranggan, sopir itu pun turun dan menurunkan karung-karung beras yang ada di dalam jip. Setelah selesai, wanita pedagang itu dengan sikap tegak lurus memberikan uang upah sebagai imbalan kepada sopir. Namun, dengan sikap sopan sang sopir tidak mau menerima uang itu dan mengembalikannya kepada pedagang wanita tersebut. Pedagang wanita itu marah-marah, karena mengira bahwa ia menuntut upah yang lebih banyak lagi. Di tengah kemarahannya, ia mengatakan, mengapa sopir yang satu ini tidak mau diberi uang “sekian”, padahal biasanya sopir-sopir yang lain menerima. Tanpa berkata apa-apa, sopir tersebut menjalankan jipnya dan terus melaju ke arah selatan.
Setelah jip itu lenyap, seorang polisi yang kebetulan berada di sana menghampiri pedagang wanita tersebut dan bertanya : “Apakah mbakyu tahu, siapa sopir tadi?” Masih dalam nada marah, pedagang wanita itu menjawab : “Sopir ya sopir. Habis perkara! Saya tidak perlu tahu namanya. Memang sopir satu ini agak aneh.” Polisi itu berkata lagi : Kalau mbakyu belum tahu akan saya kasih tahu. Sopir tadi adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, raja di Ngayogyakarta ini.” Seketika itu juga wanita pedagang tadi jatuh pingsan, terjerembab ke tanah. Ia sangat menyesali sikap dan perbuatannya dan merasa sangat kurang ajar terhadap rajanya. (Hal. 254, olehDra. S.K. Trimurti)
Gak Ada Matinya
Membaca pasar Kranggan, semakin ke sini (ke zaman yang serba modern ini) rasa-rasanya sulit bagi saya untuk memercayai bahwa kelak pasar ini akan mati tergusur zaman, selama masyarakat kota Jogja masih menjunjung status makhluk sosial, dan karakter humanis, tepa selira, dan hidup rukun. Masyarakat yang menjadikan interaksi sosial sebagai bagian penting hidupnya, salah satu falsafah hidupnya. Pasar Kranggan, dengan segala keunikannya -tempat berburu jajanan pasar tradisional terlengkap, sayuran segar, buah-buahan segar, ikan segar, dan segala jenis kebutuhan hidup masyarakat urban- ini telah dan tetap gagah berdiri di jantung kota Jogja.
Keyakinan saya ini pun sudah saya buktikan secara empiris, yaitu ketika di desa saya dulu dibangun sebuah minimarket waralaba ternama di Indonesia, banyak orang yang mengkhawatirkan keberadaannya akan mematikan (aktivitas) pedagang di pasar tradisional karena jaraknya yang tak lebih dari 200 meter. Sejak minimarket tersebut resmi dibuka, memang diserbu masyarakat, dan kontan saja membuat aktivitas transaksi lumpuh, namun hal itu tak berlangsung lama, hanya satu bulan setelahnya masyarakat setempat kembali berbondong-bondong ke pasar tradisional. Ternyata meski disuguhi dengan tempat belanja yang nyaman, bersih, sejuk, toh ternyata masyarakat kita tidak akan mau jika harus kehilangan interaksi sosial, dan harga yang terasa lebih murah karena disepakati oleh kedua belah pihak (negosiasi).
Meskipun demikian, tentu kita tidak bisa menyerahkan pasar Kranggan kepada “takdir”-nya sendiri. Karena sebenarnya, pasar ini merupakan produk kecerdasan lokal masyarakat Jogja yang telah terbentuk dan terintegrasi sebagai ruang sosial, budaya, dan ekonomi. Dengan demikian, jika saya mengungkapkan kalimat “merawat pasar tradisional (Kranggan) sama halnya dengan merawat sejarah” saya rasa bukanlah menjadi pernyataan yang berlebihan. Terlebih lagi, pasar Kranggan ini merupakan pasar tradisional yang berada tepat di tengah-tengah kota. Sejarah perkembangan serta ingatan kolektif tentang proses pembangunan kota Jogja tersimpan di tubuhnya.
Mengapa saya begitu yakin kalau pasar tradisional gak ada matinya?Belajar dari pasar Kranggan, saya menyimpulkan bahwa kemampuan adaptasi pasar tradisional terhadap kemajuan zaman adalah kuncinya. Sebagaimana terlihat di pasar Kranggan, saat ini telah terdapat pasar HP ( di lantai dua) dan pasar uang (bank dan koperasi). Selain adaptif, respon para pedagang di pasar juga sangat penting agar para pengunjungnya merasa nyaman. Bagi pedagang di pasar Kranggan, menjadikan pasar Kranggan sebagai tempat yang nyaman untuk berbelanja adalah wajib hukumnya, dan ini dilakukan secara gotong royong, hal yang tidak ditemukan di pasar-pasar modern.
Sebagai pasar yang adaptif terhadap modernisasi, kita patut berbangga sebab porsi ketradisionalan di pasar Kranggan tetap menonjol, seperti tersedianya sayur mayur, buah, dan makanan segar, baju, sembako, dan makanan tradisional dengan tampilan apa adanya, tanpa disimpan di lemari es, tanpa ada diskon besar-besaran, tanpa ada harga yang terpatok pasti, misalnya.
Selanjutnya, melalui poto-poto yang berhasil saya ambil pada tanggal 27 November ini, cukup menjadi bukti-bukti bahwa pasar Kranggan memang gak akan pernah ada matinya :