Di Indonesia lazim kita saksikan saat memasuki masa kampanye, pasar-pasar rakyat  tak pernah absen dari kunjungan para politisi. Mereka, para politisi itu, kerap menjadikan pasar sebagai ruang untuk blusukan; menyerap aspirasi, keluhan, dan harapan rakyat dan tentu saja suara dalam pemilu.
Fenomena tersebut menunjukkan kepada kita bahwa sebenarnya pasar rakyat memiliki daya tawar tinggi bagi seorang pemimpin publik. Karena di sanalah seorang (calon) pemimpin dapat menemui rakyatnya, menjaring suara, dan mendengar langsung permasalahan nyata yang sedang dihadapi rakyat.
Mengapa?
Tak lain karena pasar merupakan barometer kesejahteraan rakyat (dan bukankah tugas seorang pemimpin publik adalah membantu mengangkat rakyatnya untuk sampai pada derajat sejahtera?).
Argumen di atas bisa dijelaskan dengan analogi yang sangat sederhana. Dalam keseharian kita, kondisi dapur (perekonomian keluarga) sangat dipengaruhi oleh harga-harga kebutuhan pokok seperti beras, bumbu-bumbu, sayuran, lauk pauk, dan lain sejenisnya. Di pasarlah harga-harga itu ditentukan, maka muncullah istilah harga pasaran. Di pasar, seseorang tak akan bisa menjual dengan harga jauh lebih murah atau tinggi dari harga umum yang berlaku di pasar tersebut. Â Kecuali kalau si pedagang rela barang dagangannya tak terbeli (karena harganya terlalu mahal) atau dirinya dibenci oleh pedagang lain (karena menjual terlalu murah).
Harga itu yang kemudian –dalam skala lebih kecil lagi-  menjadi patokan bagi para pengecer untuk menentukan harga ketika mereka menjualnya lagi dalam bentuk eceran. Para pengecer itu adalah toko kelontong di dekat rumah kita atau pedagang sayur keliling yang hampir setiap hari menyambangi rumah kita.
Secara lebih ekstrem, pasar rakyat bahkan bisa dikatakan lebih ‘berdaulat dan otonom’ dari kebijakan pemerintah. Harga eceran tertinggi per kilogram daging bisa saja ditetapkan oleh pemerintah sebesar sekian puluh  ribu, namun ketika di pasar bisa dipastikan akan berbeda harganya dan sering kali lebih mahal dari harga yang ditetapkan. Begitu juga dengan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Momen Ramadhan tahun 2016 lalu adalah bukti dari semua itu. Bahkan instruksi seorang Presiden pun, tak bisa dipatuhi oleh orang-orang pasar. Bukan karena tak patuh atau nakal, namun sering kali kebijakan pemerintah kurang sesuai dengan kondisi demografi dan persoalan nyata yang dihadapi para pedagang.
Dengan demikian, pasar pada akhirnya menjadi indikator daya beli masyarakat dalam lingkup terkecil (desa). Ketika harga kebutuhan pokok naik, maka daya beli masyarakat di pasar jelas akan menurun. Pengunjung berangsur sepi dan penjualan sudah tentu akan menurun pula. Â Terlahir dari seorang ibu yang kesehariannya berjualan di pasar sampai sekarang membuat penulis paham betul dengan hal tersebut.
Pasar Rakyat Perdesaan dan Perkotaan
Membicarakan pasar rakyat sejatinya perlu dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni pasar rakyat wilayah perdesaan dan perkotaan. Ini penting dilakukan demi menghindari generalisasi pandangan soal pasar rakyat. Selama ini pasar rakyat kerap dipandang sebelah mata yakni identik dengan kotor, becek, dan kurang higienis. Namun yakinlah, pandangan semacam itu sebenarnya  ‘hanya’ berlaku bagi masyarakat perkotaan atau kelas menengah ke atas. Dan itu memang sebuah persoalan besar mengingat ada pesaing yang siap memberikan fasilitas sebaliknya, yakni pasar modern. Â
Dalam kondisi seperti itu, didukung ‘pengetahuan’ dan daya finansial yang memadai, masyarakat perkotaan dan kelas menengah ke atas tentu rawan beralih ke pasar modern. Namun tidak demikian dengan masyarakat perkotaan kelas bawah. Mereka akan tetap bersetia hati dengan pasar rakyat, meski kondisinya demikian karena harga tetaplah menjadi pertimbangan utama.