Momen ini juga merupakan masa panen bagi para pedagang di pasar. Biasanya, para pedagang akan agak jual mahal. Ngentol, istilahnya. Tapi ya namanya di pasar, tawar menawar akan tetap terjadi.
Di sinilah, kedekatan personal antara penjual dan pembeli akan memberikan pengaruh yang besar bagi tersepekatinya sebuah harga. Semakin dekat kita dengan pedagang, maka harga yang mereka berikan tidak akan semahal yang mereka berikan kepada orang lain yang tidak dikenal.
***
Ketika saya mengutarakan hal ini di sebuah status Facebook, salah satu Kompasianer Jogja memberikan komentar. Menurutnya, kata "Prepekan" asal katanya dari "Prek-prekan". Terjemahan bebas dari habis-habisan.
"Jejelang ramadhan, menghabiskan semua nafsu negatif. Memasuki bulan suci, dengan hati yang suci pula. Jelang syawal, menghabiskan waktu dengan amalan-amalan sunnah Ramadhan. Sebab di bulan suci tersebut nilai pahalanya berlaksa lipat." tulis Pak Nuz.
Sayangnya, menurut Pak Nuz, makna filosofis yang baik itu kemudian bergeser ke arah perilaku konsumtif.
"Seiring berjalannya waktu, bukannya perilaku prek-prekan ibadah yang dilakukan. Sebaliknya, perilaku hedon justru yg dikedepankan." pungkasnya.
Jujur saja, saya baru tahu hal tersebut. Selama ini saya tahunya ya begitu. Sejak saya masih kecil, tradisi itu sudah ada dan saya selalu dibuat repot karenanya. Sebagai seorang penjual kue, ibu saya juga akan meningkatkan jumlah barang dagangannya.Â
Terutama untuk jenis apem, karena ini akan digunakan untuk ritual "punggahan"; upacara selamatan dan mengirim doa kepada sanak saudara yang telah meninggal dunia.
Adapun tentang mengapa menjelang bulan Ramadhan banyak orang yang berbondong-bondong ke pasar untuk berbelanja, terdapat banyak hal yang bisa menjadi penyebabnya. Seperti misalnya, memang mereka akan masak banyak untuk keperluan selamatan di rumah, yang juga dalam rangka menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.
Selain itu, pada hari-hari pertama puasa biasanya orang-orang memang cenderung agak manja. Sehingga hari pertama puasa, maunya makan yang enak-enak. Apalagi logika orang desa, yang notabene lebih sering makan sayur-sayuran ketimbang daging.Â