Bung, hari ini tanggal 6 Februari. Tanggal pertama kali engkau dilahirkan ke bumi dengan bertumpuk tugas zaman yang begitu berat dan harus kaupikul.
Zaman kelahiran kita, teramat jauh berbeda. Aku terlahir di zaman yang sudah merdeka, lalu tumbuh dan menjadi dewasa di zaman yang kian mudah.
Sementara engkau, terlahir pada saat negeri ini sedang dalam kondisi kacau balau dan kehilangan martabat kebangsaannya. Engkau tumbuh dan menjadi dewasa dalam arus perebutan kuasa. Dan engkau, adalah orang yang begitu gigih melakukan perlawanan terhadap mereka yang demi kekuasaan kemudian mengorbankan kemanusiaan.
Tahun ini engkau berusia 93 tahun. Tidak, aku tidak akan mengatakan jika engkau masih hidup. Engkau selalu hidup, Bung. Kau sendiri yang bilang, penulis tidak akan mati ditelan sejarah dan ingatan. Engkau selalu hidup, dalam "Bumi Manusia", "Anak Semua Bangsa", "Jejak Langkah" dan "Rumah Kaca" serta puluhan buku-buku lain yang telah kautulis.
Entah ada energi apa tepat di saat ulang tahunmu, salah satu bukumu sedang kubaca, Bung. Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer, judulnya. Membaca buku itu, Bung, membuat dadaku benar-benar sesak. Rasanya aku seperti ingin menangis, tapi air mata tak mampu keluar. Itulah barangkali tangis yang sebenarnya Bung, tangis tanpa air mata. Tangis yang tertahan. Tangis yang pilunya tak terperikan.
Aku tak bisa membayangkan, bagaimana rasanya menjadi para perawan remaja rupawan itu. Dijanjikan sekolah ke Tokyo oleh Pemerintah Pendudukan Balatentara Dai Nippon, namun ternyata itu semua tipuan belaka.
Mereka yang pada tahun 1943-1945 dijanjikan akan menjadi pemimpin di negerinya setelah merdeka, tak pernah benar-benar merasakan manisnya bangku sekolah. Melainkan malah menderita dalam geladak kapal. kamp-kamp penampungan, dan asrama karena harus melayani kebinatangan para tentara Jepang itu.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi perawan remaja itu. Diperkosa dan direnggut keperawanannya dan lalu digilir oleh para tentara layaknya sebuah mainan yang tak berharga. Hilang sudah kemanusiaannya dan para tentara itulah yang telah merenggutnya.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi perawan remaja dari tanah Jawa itu. Diri yang terkoyak dan hancur martabatnya, lalu dibuang entah ke mana setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II.
Mereka dilepas sebagai ayam dari kandang terbakar. Mereka tidak mendapatkan pelayanan dan perlundungan hukum dari pemerintah Indonesia, bahkan keluarganya sendiri pun seakan tak ada niatan untuk mencarinya.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi perawan remaja itu, yang hingga tiga puluh lima tahun kemudian (1978) tak dapat pulang ke tanah kelahirannya dan lalu hidup menua di tanah buangan.