Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan dalam beberapa waktu belakangan ini tampak semakin gencar menyosialisasikan perihal dilarangnya transaksi pembayaran dengan menggunakan mata uang virtual di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasalnya, penggunaan mata uang virtual seperti Bitcoin, BlackCoin, Dash, Dogecoin, Litecoin, Namecoin, Nxt, Peercoin, Primecoin, Ripple, Ven dan jenis mata uang virtual lain dalam transaksi pembayaran sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Dalam UU tersebut, secara jelas telah diatur bahwa setiap transaksi pembayaran yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan mata uang rupiah. Sehingga kalau mengacu pada ketentuan ini, mata uang dari negara lain, lebih-lebih mata uang virtual, tidak boleh digunakan sebagai alat pembayaran. Bahkan ada ancaman hukuman pidana jika ada pihak-pihak yang nekat menerima pembayaran dengan menggunakan mata uang selain rupiah, termasuk dalam hal ini mata uang virtual.
Pelarangan penggunaan mata uang virtual di Indonesia sebenarnya sudah ditetapkan sejak 2016 lalu, setelah Bank Indonesia menerbitkan peraturan nomor 18/40/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Dalam peraturan tersebut, setiap penyelenggara jasa sistem pembayaran (bank dan perseroan terbatas yang melakukan kegiatan usaha di bidang teknologi informasi dan/atau sistem pembayaran) dilarang melakukan pemrosesan transaksi pembayaran dengan menggunakan mata uang virtual.
Pelarangan penggunaan mata uang virtual dalam setiap transaksi pembayaran tidak hanya dilakukan oleh pemerintah Indonesia saja. Otoritas Cina misalnya, juga telah melarang penggunaan transaksi pembayaran dengan menggunakan uang virtual.Â
Bank sentral Malaysia, Vietnam, Rusia, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, dan Israel pun demikian, melarang penggunaan mata uang virtual karena ada banyak potensi kerugian yang bisa ditimbulkan. Mulai dari tindak pidana pencucian uang, pendanaan ilegal, penyelundupan narkoba lintas negara, dan dapat menimbulkan ketidakstabilan industri keuangan suatu negara.
Di samping itu, penggunaan mata uang virtual, khususnya di Indonesia, secara politik juga dapat merongrong kedaulatan mata uang rupiah di negaranya sendiri. Mengingat mata uang rupiah juga merupakan simbol kedaulatan negara. Sekarang saja nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika masih sangat lemah, karena masih banyaknya pihak-pihak yang melakukan pembayaran dengan menggunakan mata uang dolar AS, apalagi kalau ditambah dengan adanya mata uang virtual, bisa semakin anjlok harganya.
Di samping alasan hukum, potensi kerugian, dan kedaulatan mata uang rupiah, perilaku penggunaan mata uang virtual ini cenderung spekulatif, karena kemudian banyak pihak-pihak yang menjadikannya sebagai instrumen investasi. Siapa yang mampu membeli banyak, maka dialah yang kemudian "berhak" menentukan harganya.
Selain itu, penggunaan mata uang virtual ini juga sangat berisiko karena tidak ada otoritas yang mengawasi dan mengaturnya. Nilainya hanya didasarkan pada permintaan pembelian terhadap mata uang tersebut, sehingga semakin banyak yang membeli maka nilainya akan semakin naik dan bahkan bisa digelembungkan sesuai dengan keinginan investornya.Â
Ini terlihat dari turunnya nilai mata uang virtual Bitcoin secara drastis belum lama ini menyusul kebijakan pelarangan mata uang virtual di Cina. Berkurangnya pembeli di Asia, membuat Bitcoin yang mulanya bernilai hingga Rp200 juta lebih, menjadi anjlok di angka Rp150-an juta. Dengan demikian, maka tepatlah jika mata uang virtual ini dilarang di Indonesia.
*Artikel ini pertama kali terbit di Skh. Kedaulatan Rakyat dengan judul "Polemik Mata Uang Virtual" (1/02/2017)