Mohon tunggu...
Darul Azis
Darul Azis Mohon Tunggu... Administrasi - Wirausahawan

Wirausahawan yang terkadang menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Generasi Milenial dan Ingatan yang Teralihdayakan

19 Desember 2017   14:23 Diperbarui: 22 Desember 2017   15:58 1130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via http://www.moweble.com/

Minggu pagi (17/12) kemarin, saya mengikuti acara senam masal bersama adik-adik di organisasi. Walau selisih usia kami tidak terlalu jauh, namun bisa dikatakan kami telah berbeda generasi, apabila bertolak dari pengkategorian generasi X, Y, Z. Di antara mereka ada yang dilahirkan di atas tahun 1998, yang artinya mereka termasuk dalam generasi Z (generasi alpha). Sedangkan saya termasuk dalam generasi Y, karena terlahir di bawah tahun '98. Namun demikian, kami sama-sama generasi milenial. Yakni generasi yang hidup di era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, yang artinya kami sama-sama hidup di era yang serba mudah, cepat, dan instan.

Kembali ke soal senam tadi. Meski dulu waktu di sekolah menengah kami selalu senam pada hari Jumat, namun ternyata tidak ada seorang pun di antara kami yang ingat dan hapal seluruh gerakan senam. Sehingga tadi kami harus menggunakan bantuan video yang diputar di laptop. Barangkali salah satu penyebabnya adalah karena dulu kami senam secara terpaksa atau sekadarnya; untuk memenuhi aturan sekolah. Atau bisa jadi karena setelah lulus, kami tak pernah benar-benar mempraktikkan ulang gerakan senam. Atau sebab lain: karena kami bukanlah instruktur senam dan merasa tidak berkepentingan dengan gerakan tersebut.

Tapi terlepas dari itu semua, melihat kenyataan bahwa untuk senam saja kami harus menggunakan bantuan video di laptop, batin saya jadi tersentak. Pikiran saya terganggu.

Saya pun kemudian jadi ingat, belum ada satu bulan ini saya akhirnya bisa menghapal nomor hape saya yang satunya. Saya juga jadi ingat, tak ada nomor seorang pun yang saya hapal. Bahkan termasuk nomor keluarga saya di rumah. Sehingga ketika berkepentingan dengan nomor tersebut, saya harus membuka hape terlebih dahulu. Dan ternyata hal itu cukup merepotkan, bila dibandingkan dengan bila saya sudah menghapalnya.

Saya juga tidak ingat kode pos alamat rumah saya di Lampung dan tidak ingat kode pos tempat saya bermukim di Jogja. Sehingga ketika berkepentingan dengan kode pos tersebut, saya harus browsing dulu di internet. Ini ternyata juga sangat merepotkan.

Hal itu kemudian menyadarkan saya bahwa ternyata kemajuan teknologi informasi dan komunikasi secara perlahan telah mengeliminasi peran ingatan saya terhadap banyak hal. Saya bahkan telah mengalihdayakan ingatan saya kepada perangkat elektronik, internet, dan ruang penyimpanan data digital.

Medioker

Sementara itu, untuk menunjang aktivitas sehari-hari, di jagat internet kini telah tersedia banyak tutorial, tips, maupun tuntunan praktis untuk setiap aktivitas manusia; memasak, senam, upacara adat, memakai pakaian adat,  silat, memperbaiki barang elektronik, membuat pupuk kompos, dan lain sebagainya. Baik dalam bentuk video, gambar, maupun tulisan. Derajat kedetailannya pun beragam, ada yg cuma garis-garis besar, ada yang lumayan detail, dan ada yang detail banget.

Sehingga dengan adanya tutorial-tutorial tersebut, kita pun kemudian tidak perlu lagi menghapal atau mengingat segala hal yang mungkin kurang begitu kita butuhkan. Kita tidak perlu menjadi benar-benar paham terhadap sesuatu, melainkan cukup tahu saja ketika kita membutuhkannya. Sebagai contoh: saat ini kita tidak perlu benar-benar paham dan hapal bagaimana gerakan suatu tarian adat, tapi ketika suatu saat kita membutuhkannya, cukuplah mencari contoh videonya di Youtube. Contoh lain, kita saat ini tidak perlu benar-benar paham bagaimana cara bercocok tanam secara hidroponik, tapi bila suatu saat kita membutuhkannya tinggal mencari video tutorialnya di Youtube.

Kita kini tidak perlu menghapal nama-nama ibukota negara-negara di dunia karena di internet sudah ada. Kita sekarang tidak perlu benar-benar ingat bagaimana lirik sebuah lagu, karena di internet sudah ada. Kita sekarang tidak perlu benar-benar hapal semua doa, karena bisa dicari sewaktu-waktu di internet ketika memang sedang membutuhkannya. Kita sekarang tidak perlu benar-benar hapal teori tentang sesuatu, karena juga bisa dicari di internet kapan saja kita mau.

Demikianlah. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi selain telah mempermudah kehidupan kita ternyata juga mereduksi daya tampung, daya ingat, dan daya paham kita terhadap sesuatu hal. Paradoksnya lagi, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi juga telah mengeliminir hal-hal yang kurang begitu penting dari ingatan kita untuk kemudian digantikan oleh hal-hal yang sebenarnya juga kurang begitu penting. Misalnya: kita tidak ingat bagaimana cara membuat kue pukis tapi ingat betul tahu benar dengan gosip terbaru salah satu artis.

Alihdaya Ingatan

Saya tak tahu hal serupa dirasakan oleh orang lain atau tidak. Tapi yang jelas, saya semacam telah mengalihdayakan ingatan dan urusan kepada Google, Youtube, dan mesin pencari lainnya. Saya juga telah memasrahkan ingatan kepada gawai, laptop, flashdisk, hardisk, dan memori micro SD. Saya juga telah sangat mengandalkan Google Map ketika tersesat atau mencari tempat dan jalan yang masih asing dalam ingatan. Sehingga secara praktis saya kemudian beranggapan bahwa selama ada mereka semua, saya tak perlu mengkhawatirkan apa pun. Segala persoalan bisa selesai dengan cepat dan tepat.

Dengan demikian, sekarang ini kita tidak perlu benar-benar hafal, paham, atau expert di bidang tertentu. Cukuplah kita punya akses terhadap internet, maka kita akan bisa melakukan/tahu/paham banyak hal. Ya walaupun dengan cara yang sangat amatir dan medioker. Sampai di sini mungkin sekilas tidak tampak ada persoalan. Pokoknya selama ada akses internet, semua hal bisa jadi tampak lebih mudah.

Namun apabila kita telisik lebih jauh, maka akan muncul pertanyaan: bagaimana bila kita berada di desa yang tak ada akses internetnya dan di sana kita harus melakukan sesuatu hal? Seperti membuat pupuk kompos misalnya.

Bagaimana kalau tiba-tiba kita berada dalam kondisi darurat? Kita kecelakaan dan hape hilang/ikut rusak misalnya.

Siapa yang akan kita hubungi pertama kali untuk kita beri kabar? Ingatkah kita berapa nomor darurat itu?

Bagaimana kalau misalnya kita tersesat di sebuah wilayah yang tidak ada penduduknya dan tidak terdapat sinyal, sementara baterai hape kita telah habis?

Saat itulah mungkin kita akan langsung sadar bahwa ternyata tidak semua persoalan bisa selesai dengan internet dan perangkat modern lainnya. Kita masih tetap butuh ingatan, catatan, dan buku bacaan yang ada fisiknya. Kita tetap butuh hapalan. Kita tetap butuh memahami tanda-tanda alam. Kita tetap butuh interaksi dengan lingkungan sekitar. Kita tetap butuh hal-hal tradisional dan kuno. Dan kita tetap butuh manusia untuk ditanyai tentang suatu urusan. Serta kita butuh mengalami dan mempraktikkan banyak hal agar benar-benar paham, ingat, dan hafal atas banyak hal pula.

Jogja, Desember 2017

Darul Azis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun