Mohon tunggu...
Darul Azis
Darul Azis Mohon Tunggu... Administrasi - Wirausahawan

Wirausahawan yang terkadang menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemimpin Daerah dan Teori Baju Baru, Memancing Ketahudirian Pemimpin Kita

10 Oktober 2016   17:17 Diperbarui: 10 Oktober 2016   17:32 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Momen Pilkada serentak akan digelar lagi. Masih agak lama memang, tapi saya rasa tak ada salahnya jika kita memperbincangkannya dari sekarang. Mumpung belum terlalu riuh, sehingga kita bisa lebih khusyuk dalam bertukar pikiran dan jika kemudian ada hal-hal yang perlu diambil, maka ia akan lebih objektif, jujur, dan adil. (Dan tenang, ini tidak ada hubungannya dengan siapa pun. Juga tidak secara khusus memperbincangkan Pilgub DKI misalnya, yang kadang membuat Anda cukup lelah dan jengah.) 

Jadi begini, ini tentang fenomena politik di kampung saya. Lebih spesifiknya lagi, tentang sikap pemilih di kampung saya dalam Pilkada serentak pada Bulan Desember 2015 yang lalu.  Dalam Pilkada kemarin, orang-orang di kampung saya berpegang pada satu teori --yang sangat-- woles dan luweh-luweh. Mereka bilang "Baju aja ganti kok, masak bupati tidak ganti". Alhasil, calon bupati yang notabene petahana pun kalah dengan perbandingan suara yang jika dibulatkan menjadi 60 % : 40 %. Warbiyasah.

Munculnya teori tersebut, bisa jadi disebabkan oleh 2 hal. Pertama, teori 'baju baru' sengaja dilontarkan oleh calon bupati baru sebagai punch dari setiap kampanyenya. Baik secara terang-terangan maupun tertutup. Disampaikan langsung oleh si calon maupun oleh tim sukses dan 'relawan' yang tersebar ke setiap penjuru kampung.  (Dengan catatan kalau calon bupati beserta tim suksesnya lumayan cerdas dan mahir dalam komunikasi politik)

Teori 'baju baru' ini juga akan sukses tertanam dalam benak calon pemilih jika kemudian dibubuhi dengan sebab yang kedua, yakni rapor merah kandidat petahana. Baik yang sengaja dilontarkan kandidat lawan maupun yang rill dirasakan oleh masyarakat itu sendiri. Pepak sudah.

Tapi teori di atas hanya berlaku jika calon pemilih masih buta politik. Karena tidak demikian dengan pemilih di kampung saya. Ini terlihat dari ujaran lanjutan dari mereka yakni "kalau memang yang ini kok nggak cocok dan nggak bagus, ya ganti lagi". Demikianlah, mereka memilih dan memecat pemimpinnya berdasarkan pertimbangan rasa.

Wew, tentu ini akan menjadi tantangan sekaligus ancaman bagi kepala daerah terpilih. Kalimat tersebut sama dengan ungkapan ''kalau kamu nggak bagus kerjanya, tak ganti kamu, tak pecat kamu.'', -- ya walaupun untuk menggantinya masih harus menunggunya sampai periode jabatan habis sih. Tapi lumayan, dari sini sudah terlihat bahwa masyarakat (pemilih) punya posisi tawar yang tinggi atas calon pemimpin yang akan (telah) dipilihnya. Dan kalaupun ternyata pemimpin pilihannya itu tidak sesuai harapan, untuk menunggu waktu lima tahun itu bukanlah waktu yang lama, semenderita atau sesulit apa pun kehidupan mereka tersebab ketidakbecusan pemimpinnya. Karena sebagaimana kita tahu masyarakat di kelas akar rumput seperti mereka sangatlah tangguh dan tahan banting. Jangankan kok cuma lima tahun, 32 tahun aja mereka tahan kok. *Eh

Begitulah, sungguh  sederhana cara orang-orang di kampung saya dalam memilih kepala daerah. Bahkan tak lebih rumit dengan ketika mereka memilih baju. Cocok, pilih. Jika kemudian tidak sesuai harapan, ganti lagi. Beli lagi.

Di era demokrasi liberal seperti sekarang ini, sikap inilah yang saya kira sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia. Agar para (calon) pemimpin itu nyadar, bahwa mereka hanyalah 'baju' untuk masyarakatnya, yang bisa saja dibuang dan diganti dengan yang baru. Jadi, kalau mau 'dipake' terus oleh masyarakat, ya baik-baiklah. Ya awet-awetlah. Ya amanahlah.

Karena antara pemimpin dan masyarakat itu layaknya keris dan warangka, badan dan baju. Warangka yang bagus, tak akan bernilai jika tanpa adanya sebilah keris. Begitu pun dengan keris, ia akan sangat berbahaya jika tanpa warangka. Namun jika dinilai secara fungsiona, warangka itu tak akan bernilai jika tanpa keris. Namun tidak demikian dengan keris, ia akan tetap bernilai dan bertuah. Hanya saja sedikit berbahaya. Inilah yang harus dipahami oleh para pemimpin kita, agar mau sedikit berpikir.

Tulisan ini juga diterbitkan di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun