Sejak awal menjabat sebagai Mendikbud, Anies Baswedan selalu mengatakan bahwa pendidikan sejatinya merupakan gerakan semesta yang melibatkan semua. Pendidikan adalah milik dan tanggungjawab bersama, Â sehingga harus digerakkan secara gotong royong oleh semua pihak yang membutuhkannya.Â
Secara pribadi, saya mendukung gerakan tersebut. Bahwa pendidikan adalah milik dan tanggungjawab semua, itu memang benar. Pendidikan haruslah partisipatif, karena semua membutuhkannya. Dengan adanya gerakan dan penyadaran tersebut, maka dampak yang kemudian akan dirasakan adalah munculnya sikap saling asah dan saling asuh satu sama lain. Anies Baswedan, dalam pandangan saya, mengibaratkan pendidikan sebagai jalan yang harus dibangun secara kolektif-kolegial.Â
Tapi saya lebih senang mengibaratkan pendidikan itu adalah air. Air yang akan melepaskan dahaga atas ilmu pengetahuan. Air yang akan menumbuhkan tunas-tunas baru di masa depan. Dan air yang hanya akan menjadi bencana jika tidak diatur sedemikian rupa, dari hulu sampai hilirnya.Â
Karena itu, ada beberapa hal yang menurut saya masih mengganjal dan perlu dibenahi seiring dengan digencarkannya gerakan penyadaran pendidikan sebagai tanggungjawab bersama ini. Beberapa hal berikut ini, semoga bisa semakin memperkaya khasanah gagasan tersebut.
Pendidikan Memang Harus Menjadi Tanggungjawab Bersama, Namun Negaralah Penentu Awalnya
Bapak pendiri bangsa Indonesia sudah bersepakat melalui Undang-Undang Dasar 1945, bahwa salah satu cita-cita kemerdekaan dan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Karena dari sanalah jalan menuju kehidupan yang berdaulat, adil, dan makmur dapat dimulai.
Untuk itu, mari kita baca lagi naskah pembukaan UUD 1945, khususnya alinea keempat.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada kalimat yang saya cetak tebal, bisa kita lihat bahwa adalah pemerintah negara memiliki peran sentral dalam penyelenggaraan pendidikan. Bila diibaratkan, pemerintah negara layaknya sebuah bendungan yang menjadi hulu aliran air ke seluruh saluran irigasi untuk mengairi sawah-sawah. Dengan demikian, prinsip keadilanlah yang harus dijadikan pedoman. Jika gerakan ini memang bermaksud untuk menumbuhkan nilai-nilai pendidikan yang berasaskan Pancasila, maka sebagai regulator pendidikan negara harus terlebih dahulu mengamalkannya, yakni dengan menetapkan kebijakan pendidikan yang adil bagi rakyatnya.
Tentu ini sangat jauh dari maksud menimpakan tanggungjawab pendidikan kepada pemerintah negara semata, karena lebih dari itu kita ingin melihat sejauh mana komitmen politik pemerintah terhadap pendidikan di Indonesia dan mampukah pemerintah berlaku adil dalam pengimplementasiannya?
Pertanyaan ini menjadi sangat penting untuk dilontarkan (dan syukur-syukur bisa menjadi bahan refleksi pemerintah) karena akan sangat berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan. Jika komitmen politik pemerintah terhadap pendidikan —yang kemudian diwujudkan melalui kebijakannya—sudah baik dan dilaksanakan secara adil, maka unsur-unsur lain pun akan semakin mudah untuk mengikutinya.
Bagaimana mungkin sistem pendidikan di Indonesia akan teratur dan terarah sementara –misalnya- cetak biru pendidikan saja tidak punya? Sehingga mengakibatkan begitu politisnya kurikulum pendidikan di negara kita.
Bagaimana mungkin siswa kita akan melek literasi sejak dini, sementara selama ini saja tidak ada kebijakan pemerintah tentang buku-buku sastra wajib baca? Padahal kita semua paham bahwa sastra dapat memberikan banyak pelajaran bagi pembacanya : membukakan hal-hal tabu, melembutkan budi, memberikan nilai estetik, wawasan sejarah, dan membuat pikiran semakin terbukaÂ
Atau bagaimana mungkin para generasi muda di daerah akan mendapatkan informasi dan akses pendidikan yang sama dengan mereka yang berada di daerah maju, jika pertukaran pelajar (dan guru) antar daerah tidak pernah dilakukan? Selama ini kita terlalu terbuai dengan kemewahan pertukaran pelajar ke luar negeri, sementara siswa lain di daerah untuk bisa belajar di kota besar yang notabene lebih lengkap dalam hal sarana pendidikan saja sulitnya minta ampun.
Oleh sebab itu kita berharap, ke depan pemerintah dapat memperkuat komitmen tersebut mengingat perannya sebagai hulu pendidikan di Indonesia yang akan sangat menentukan arah dan kondisi pendidikan kita.