Jika pilpres di gelar hari ini, Prabowo Subianto dipastikan bakal terpilih sebagai presiden pasca-SBY. Pasangan cawapres tak terlalu berpengaruh. Apa yang musti dilakukan Prabowo untuk memastikan langkahnya ke Istana Negara?
[caption id="attachment_202040" align="alignnone" width="465" caption="Prabowo Subianto (Foto: Net)"][/caption] JIKA Anda suka nongkrong malam di warung indobur atau sering makan siang di warteg, coba sesekali lempar pertanyaan ke teman-teman tongkrongan Anda, atau kepada pedagangnya, atau siapa saja yang ada di situ. “Siapa calon presiden yang akan Anda pilih di Pilpres 2014?”
Nama Prabowo Subianto hampir dipastikan akan menempati urutan teratas, di samping nama-nama populer seperti Dahlan Iskan, Jokowi, Megawati, JK, atau Ical. Itu klop dengan hasil survei beberapa lembaga survei nasional yang menempatkan mantan Danjen Kopassus itu sebagai peraih skor tertinggi.
Atau jika Anda penikmat berita-berita politik di media online, coba buka dan baca komentar-komentar pembaca yang biasanya ada di setiap berita. Atau buka situs-situs yang membuka rubrik forum diskusi dan blog-blog pribadi yang bertebar dimana-mana. Arus berita sepertinya berpihak ke Prabowo, nyaris mirip ketika awal-awal Jokowi maju ke Pilkada DKI. Hanya satu-dua komentar yang memojokkan, selebihnya menyatakan dukungan.
Cermati pula rating berita-berita yang memuat tentangnya. Meski masih di bawah berita-berita terkait Jokowi, pelan namun pasti rating berita terkait Prabowo terus melambung. Ada magnet kuat yang membuat publik terdorong untuk mengikuti apa yang sedang dilakukan kandidat capres Partai Gerindra itu.
Arus media seakan seiring sejalan dengan penerimaan dunia internasional terhadap mantan anak mantu Soeharto itu. Singapura, misalnya, belum lama ini mengundang Prabowo sebagai pembicara dalam forum bergengsi yang dihadiri tokoh-tokoh dari Negeri Singa itu. Media Amerika--parameter yang sering dijadikan rujukan--juga sepertinya mulai menunjukkan tone positif kepada Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu.
Ibarat bermain sepakbola, saat ini bola ada di kaki Prabowo. Ketepatan membuat keputusan—apakah mau digiring sendiri ke wilayah lawan, dioper ke striker yang sudah di ambang gawang, atau ditarik ke belakang untuk memancing musuh—menjadi faktor penentu. Lantas, apa yang musti dilakukan purnawirawan jenderal bintang tiga itu?
Pertama, dia harus punya tiket untuk kau ke pencapresan. Syaratnya cukup berat; 25% elekteoral threshold atau 20% kursi di parlemen. Jika dikalkulasi, paling banyak hanya 4 kandidat yang bisa maju ke pencalonan. Itu pun cukup sulit. Sebab, menurut survei, di Pemilu 2014 tak ada satu parpol pun yang berhasil menembus angka psikologis itu. Partai Demokrat di Pemilu 2009 saja hanya mampu meraih 20,85%. Diprediksi, suara partainya SBY itu akan tergerus cukup banyak. Partai Golkar yang diprediksi akan naik juga tidak sampai 16%. PDIP juga diprediksi turun di kisaran 12%. Artinya, tiga partai besar pun harus merangkul partai lain untuk bisa mendapat tiket. Gerindra yang diprediksi bakal melonjak, juga tak lebih dari 10%.
Partai mana yang harus dirangkul Prabowo? Selama ini, Prabowo memiliki chemistry yang cocok dengan PDIP dan Megawati. Sangat mungkin mereka berkoalisi, sama seperti Pilkada DKI lalu. Tapi, maukah PDIP yang diprediksi akan memperoleh suara di atas Gerindra mau duduk di kursi cawapres? Kalau Mega setuju, mereka pun masih perlu satu lagi parpol menengah agar genap dapat 25%. Pilihan yang dekat secara genetis mungkin jatuh ke Nasdem, yang juga diprediksi bakal naik daun.
Namun, jika PDIP ngotot di posisi capres, Prabowo harus mencari parpol lain, karena dia juga tidak mungkin turun kasta menjadi cawapres. Pilihan yang masih dalam kewajaran politik adalah dengan merapat ke SBY. Loh, kok SBY, bukan ke Partai Demokrat? Saat ini, Partai Demokrat “auranya” sedang negatif, jangan sampai Prabowo ikut tertular. Sementara, sejatuh-jatuhnya pamor SBY, dia masih memiliki massa loyal yang bisa diharapkan di Pilpres 2014. Soal suara Demokrat, kalau SBY sudah deal, partai tentu akan ngikut dia toh? Selama ini, hubungan personal SBY dan Prabowo sebagai sesama lulusan terbaik Akabri, tak ada masalah. Ini bisa menjadi pintu masuk bagi Prabowo untuk melakukan lobi. Momentum Demokrat yang sedang miskin stok capres bisa menjadi alat bargaining Prabowo.
Atau, bisa juga menggalang koalisi dengan parpol-parpol tengah macam PKB, PKS, dan parpol-parpol kecil untuk dapat tiket.
Kedua, jika tiket sudah di tangan, Prabowo musti segera menggalang dukungan dari semua lini. Dia bisa menggalang dukungan dari keluarga Cendana dan para loyalis Soeharto yang jumlahnya lumayan banyak. Caranya cukup pelik, tapi jika berhasil membawa impact yang positif: dia harus rujuk dengan Titiek Soeharto! Jika berhasil, ini akan memunculkan “haru-biru” ala sinteron Tanah Air yang sangat berpotensi mendongkrak elektabilitas Prabowo agar semakin tinggi. Selain itu, dia tidak perlu lagi “mencari” Ibu Negara jika kelak terpilih sebagai presiden.
Prabowo juga harus merangkul kalangan militer di luar Kopassus. Dia harus bisa meyakinkan bahwa dirinya akan merangkul semua kalangan militer dari mana pun kesatuannya. Caranya, dengan mengajukan blue print susunan kabinet mendatang yang akan diisi tokoh-tokoh purnawirawan lintas-kesatuan.
Dia juga harus merangkul kalangan profesional, cerdik cendekia, dan kalangan menengah. Ini sangat efektif untuk membantu dukungan di sosial media, seperti yang yang terjadi pada Jokowi-Ahok lalu. Kalangan ini juga untuk mengimbangi “hantaman” dari kalangan aktivis mahasiswa dan liberal yang hampir dipastikan akan mengusung kembali isu kerusuhan 1998 yang selalu dikait-kaitkan dengan nama-nama sejumlah jenderal.
Prabowo juga harus merangkul kalangan agamawan, tak hanya Islam, tapi juga agama lain. Tak cukup merangkul tokoth-tokoh parpol Islam, tapi tokoh-tokoh Islam cultural yang lebih mengakar di masyarakat.
Merangkul minoritas dari kalangan Tionghoa? Prabowo sudah cukup bermain cantik dengan mendukung Ahok di Pilkada DKI lalu.
Ketiga, beri contoh konkret bahwa dia akan membuat perubahan di negeri ini. Ketika Jokowi maju ke Pilkada DKI, dia membuat komitmen tidak akan membuat spanduk yang mengotori Jakarta, karena sejak awal dia berniat ingin membuat perubahan di Ibukota. Ini bisa dijadikan rujukan bahwa tak cukup dengan omongan tapi harus dengan tindakan konkret.
Keempat, jangan pernah membuat blunder dengan mengeluarkan statemen yang membuat kesan jumawa. Dia harus tetap terlihat low profile, meski tanpa mengurangi ketegasan. Bagaimanapun, mayoritas pemilih di Indonesia, apalagi pemilih tradisional, tak menyukai calon yang jumawa, apalagi terkesan sombong dan arogan. Jangan pernah menyerang lawan, bila perlu puji mereka. Pilkada DKI bisa menjadi pelajaran berharga.
Kelima, bentuk tim yang solid yang menyeluruh, bila perlu tim yang terbentuk secara alami karena dorongan moral. Tim ini berfungsi sebagai watch dog saat proses pemilu, khususnya saat pencoblosan dan penghitungan suara. Bagaimanapun, proses pemilu harus diawasi.
Keenam, banyak berdoa dan beramal. Untuk yang keenam ini, tak perlu banyak penjelasan.*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H