Ibarat tombak bermata dua, produk layanan e-banking tak hanya membuat kinerja perbankan jauh lebih efisien, tapi juga bisa menjadi pintu masuk bagi peningkatan financial inclusion.
[caption id="attachment_215774" align="alignnone" width="448" caption="SASAR UNBANKED. BII menjalin kerjasama dengan Indomart dalam pembayaran tagihan listrik. (Foto: Net)"][/caption]
KETATNYA pertarungan memperebutkan pasar menuntut pelaku industri perbankan nasional berlomba-lomba menawarkan servis terbaik kepada nasabahnya. Muaranya jelas, yakni agar jumlah nasabah terus bertambah dan potensi displacement risk (penarikan atau pemindahan dana investasi nasabah) bisa dihindari. Hal itu sangat urgen karena kualitas servis adalah salah satu kunci sukses bank dalam merebut pasar.
Menurut hasil riset Marketing Research Indonesia (MRI) dan Biro Riset Infobank (birI), dalam lima tahun terakhir kualitas layanan bank terhadap nasabah terus meningkat signifikan. Tuntutan nasabah juga terus meningkat. Tak cukup sekadar mendapat layanan ramah dari para petugas front liners, tapi juga layanan yang menyangkut keandalan infrastruktur dan layanan berbasis mesin yang menawarkan kemudahan dan kecepatan. Bahkan, layanan berbasis teknologi itu menjadi dambaan nasabah saat ini.
Pelaku industri perbankan pun mulai ikut menyesuaikan diri. Hal itu tampak dari belanja modal perbankan yang mulai mengalami pergeseran. Jika dulu belanja modal diprioritaskan untuk perluasan jaringan kantor, saat ini mulai di-share untuk investasi teknologi informasi (TI) yang mendukung layanan electronic banking (e-banking). Mereka sadar, dengan meningkatkan layanan e-banking, nasabah akan semakin loyal. Sebab, nasabah bisa melakukan transaksi secara mudah dan cepat, di mana saja dan kapan saja, tanpa perlu datang ke bank.
Tak sekadar memanjakan nasabah, fasilitas e-banking juga membuka peluang bagi perbankan untuk meningkatkan akses masyarakat ke lembaga keuangan formal (financial inclusion). Hal itu sangat urgen di Indonesia. Sebab, menurut data Biro Riset Infobank, dari 160 juta usia produktif di Indonesia (usia 15-65 tahun), 71% atau sekitar 115 juta orang belum tersentuh bank alias belum memiliki rekening di bank (unbanked).
Bahkan, menurut data World Bank dalam Global Financial Inclusion 2012, hanya 20% dari usia produktif di Indonesia yang memiliki akses ke lembaga keuangan formal. Posisi itu menempatkan Indonesia sebagai negara terendah di antara negara-negara anggota G-20 dalam hal financial inclusion.
Besarnya jumlah masyarakat usia produktif di Indonesia yang belum memiliki rekening bank bisa menjadi pasar potensial bagi perbankan, khususnya bank yang telah memiliki fasilitas e-banking yang lengkap dan tepercaya. Pembayaran secara online berbasis uang tunai (case base) melalui payment point, seperti pembayaran listrik prabayar PLN, tagihan kredit kendaraan bermotor (KKB), dan pembayaran telepon, bisa menjadi pintu masukuntuk mendorong masyarakat unbanked menjadi nasabah bank.
Hal itu mulai dilakukan perbankan dengan menggandeng pihak ketiga. Misalnya, PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BII) yang menggandeng PT Artajasa Pembayaran Elektronis (Artajasa) dan PT Indomarco Prismatama (Indomaret) dalam pembayaran listrik prabayar PLN. Kerja sama yang diteken pada 2 November 2011 itu cukup memudahkan masyarakat untuk melakukan pembayaran listrik PLN, terlebih untuk masyarakat unbanked. Alhasil, itu bisa menjadi akses mereka untuk “berkenalan” dengan bank tanpa harus datang ke kantor bank.
“Dengan teknologi perbankan yang kami miliki, kami dapat mendukung pembelian token listrik prabayar PLN di gerai-gerai Indomaret. Ini sejalan dengan ekspansi layanan perbankan elektronik menuju innovative relationship banking,” ujar Stephen Liestyo, Direktur Perbankan Konsumer BII, beberapa waktu lalu.
Selama ini BII memang cukup fokus menggarap layanan e-banking, seperti layanan internet banking dan mobile banking. Tak heran, pada “Bank Service Excellence Monitor (BSEM) 2011/2012” yang diselenggarakan MRI, BII berhasil menjadi the best dalam performa layanan e-banking. Keandalan layanan e-banking BII bisa menjadi “senjata” ampuh bank ini untuk menembus 115 juta masyarakat unbanked, termasuk masyarakat yang tidak terakses bank karena terisolasi di daerah terpencil.
Tak hanya berperan untuk meningkatkan financial inclusion, pemanfaatan layanan e-banking juga bisa untuk memoles kinerja perbankan agar kinclong. Misalnya, untuk menekan rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BO/PO) perbankan yang selama ini cukup tinggi, yakni di kisaran 85%-90%. Bandingkan dengan rasio BO/PO di beberapa negara tetangga, seperti Malaysia yang sebesar 46%, Vietnam 46,9%, dan Thailand 49,3%.
Dengan e-banking, perbankan bisa menurunkan biaya transaksi, menekan biaya operasional, dan memperoleh tambahan profit dari fee based income. Biaya per transaksi dengan fasilitas e-banking jauh lebih murah daripada biaya per transaksi di kantor cabang. Jika biaya per transaksi di kantor cabang di atas Rp3.000, dengan layanan e-banking biaya per transaksi bisa ditekan hingga di bawah Rp250 untuk internet banking dan mobile banking serta Rp350 untuk per transaksi di automatic teller machine (ATM) dengan tingkat penggunaan maksimal.
Sementara, biaya operasional bisa diminimalkan karena dengan ketersediaan layanan e-banking perbankan bisa mengurangi biaya untuk ekspansi jaringan kantor. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan, per Juni 2012 jumlah jaringan kantor milik 120 bank mencapai 15.372 buah. Jumlah itu mengalami pertumbuhan hingga 86,64% dibandingkan dengan akhir 2005 yang hanya 8.236 buah. Meski begitu, jumlah sebanyak itu belum bisa menjangkau seluruh masyarakat Indonesia yang tersebar di 33 provinsi, bahkan sebagian di antaranya terisolasi karena minimnya infrastruktur.
Memang, menambah jumlah kantor cabang baru bagi sebuah bank menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan. Namun, dengan memperkuat layanan e-banking, kebutuhan akan kehadiran kantor cabang bisa di-split dengan kehadiran layanan e-banking yang bisa lebih terjangkau hingga pelosok terpencil sekalipun, dengan catatan ada jaringan telekomunikasi. Bisa dibayangkan, berapa anggaran yang bisa dihemat dan dialihkan ke program lain, seperti untuk iklan atau promosi.
Ke depan, dengan semakin majunya layanan e-banking, perbankan bisa mengembangkan layanan yang mengarah ke pola branchless banking. Bank dapat menggandeng pihak lain yang bisa menghimpun dana dan melakukan transaksi keuangan dengan masyarakat, seperti pembayaran tagihan, kemudian menempatkan dananya di bank. Pola yang masih menunggu payung hukum BI itu sangat membantu bank-bank kecil yang minim anggaran ekspansi jaringan kantor atau bank-bank besar yang menginginkan daya jangkau pasarnya lebih luas hingga ke pelosok.
Di beberapa negara berkembang, seperti Afrika Selatan, Kenya, Pakistan, Filipina, dan Kamboja, konsep branchless banking sudah diaplikasikan untuk meningkatkan akses masyarakat ke lembaga keuangan formal. Terbukti, layanan berbasis mobile banking cukup berhasil dalam meningkatkan akses masyarakat ke lembaga keuangan. Sehingga, BI perlu mempertimbangkan untuk segera mengeluarkan payung hukum yang bisa menjamin pola ini berjalan sesuai dengan aturan.(*)
*) Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Infobank Edisi September 2012 dan menjadi juara 1 pada “Lomba Menulis & Foto Untuk Wartawan” yang diselenggarakan oleh BII Maybank dengan hadiah total Rp132 juta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H