Dalam cerita pewayangan, ada versi kata Cakra Manggilingan yang khusus. Artinya adalah adanya perputaran kekuasaan. Ilustrasinya seperti ini : Semar (dan anak-anaknya) harus tunduk dibawah kekuasaan para Pandawa. Pandawa sendiri harus tunduk pada kekuasaan Bathara Guru. Bathara Guru harus tunduk pada kekuasaan kakaknya yang lebih tua dan lebih sakti, Bathara Ismaya, yang tak lain adalah Semar sendiri.
Hal tersebut diatas juga sudah terbukti di Jawa dan Indonesia sendiri. Ini terkait dengan pesta rakyat yang telah kita laksanakan pada tanggal 9 Juli 2014 kemarin (Pilpres). Rakyat harus tunduk pada perintah Presiden sebagai Kepala Negara. Presiden harus tunduk pada keputusan MPR. Dan jangan lupa, MPR harus tunduk pada kepentingan rakyat Indonesia. Jadi sangat pas jika Presiden dan MPR paham arti Cakra Manggilingan.
Bentuk Cakra Manggilingan yang melingkar tertutup itu mempunyai makna yang dalam juga, yaitu keseimbangan. Sama seperti lambang Yin-Yang dalam kebudayaan Tiongkok. Semua bagian harus berfungsi dengan baik. Jika salah satu tidak berfungsi, maka yang lain akan terganggu. Jika Presiden tidak melaksanakan tugas dengan baik, maka rakyat tidak akan terlayani. Jika MPR tidak benar, maka Presiden akan susah menjalankan tugasnya. Jika rakyat meminta hal-hal yang tidak benar, maka pasti MPR tidak mungkin bisa menjalankan amanat rakyat dengan baik.
Kearifan lokal ini ternyata sejajar dengan kearifan universal di dunia. Filsuf Yunani (heraclitus, Empedocles) dan filsuf Tiongkok (Confucius, Tao, I-Ching), semua memiliki kesetaraan dan kesejajaran dengan pemikiran lokal yang ada pada Cakra Manggilingan. Juga filsuf modern seperti Saint Simon dan Herbert Spencer juga mendukung esensi Cakra Manggilingan (silakan cari di internet tentang filsuf-filsuf tersebut).
Indonesia akan diberi "masa terang" pada saat Cakra Manggilingan berputar dan menunjukkan "pandawa mulat sirnaning temanten" yang oleh pujangga Jawa bisa diartikan dengan sebuah angka tahun di abad 21 ini. Itu artinya Indonesia akan bangkit pada abad 21 ini asal terus berusaha dan tidak keluar dari jalur.
Banyak contoh dalam kehidupan yang terjadi didunia kita saat ini yang bisa menggambarkan berputarnya roda dunia Cakra Manggilingan. Contoh yang jelas, bagaimana dulu Ir. Soekarno dipuja, kemudian dihujat pada masa setelahnya, namun kemudian juga dipuji kembali. Hal ini juga terjadi jaman HM Soeharto, yang berkuasa penuh di Indonesia, kemudian dicampakkan pada kondisi terendah, tapi kemudian dipuja kembali pada suatu masa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H