Mohon tunggu...
A Darto Iwan S
A Darto Iwan S Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis bukan karena tahu banyak, tapi ingin tahu lebih banyak. (Darto, 22 Oktober 2024)

Menulis sebagai salah satu cara untuk healing :)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pemalsuan Karya Tulis Ilmiah dengan AI, Gelar masih Bermakna?

12 Desember 2024   07:28 Diperbarui: 12 Desember 2024   07:42 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah Anda membayangkan sebuah dunia di mana tugas sekolah atau skripsi bisa diselesaikan hanya dengan beberapa klik? Dengan kecerdasan buatan (AI) yang semakin canggih, imajinasi itu kini bukan lagi sekadar mimpi. AI telah mampu menghasilkan teks yang sangat mirip dengan tulisan manusia, bahkan bisa menyelesaikan soal-soal ujian dengan nilai memuaskan. Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, tersimpan ancaman serius bagi dunia pendidikan: pemalsuan karya ilmiah.

Apa Itu AI dan bagaimana cara kerjanya? Bayangkan AI seperti seorang koki ulung yang memiliki ribuan resep. Jika Anda memberikan kata kunci tertentu, misalnya "esai tentang perubahan iklim", AI akan mencari-cari resep yang paling cocok dan menggabungkannya menjadi sebuah hidangan baru. Begitu pula dengan menghasilkan teks, AI akan menganalisis jutaan data teks yang ada di internet, kemudian menyusunnya menjadi sebuah tulisan yang koheren.

Mengapa AI menjadi ancaman serius? Siapa pun bisa mengakses alat AI untuk menghasilkan teks, tanpa perlu memiliki pengetahuan mendalam tentang topik yang ditulis. Teks yang dihasilkan AI seringkali sulit dibedakan dengan tulisan manusia, bahkan oleh para ahli sekalipun. Pemalsuan karya ilmiah dapat merusak reputasi institusi pendidikan, merugikan siswa yang jujur, dan menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.

Jika dulu kita menggunakan mesin fotocopy untuk menjiplak tulisan, sekarang kita memiliki mesin fotocopy yang jauh lebih pintar. Mesin fotocopy ini tidak hanya menyalin, tetapi juga bisa mengubah-ubah kata dan kalimat sehingga hasil akhirnya terlihat unik.

Bayangkan sebuah dunia di mana setiap siswa memiliki asisten pribadi yang sangat cerdas, yaitu seorang asisten yang dapat menulis esai, memecahkan soal matematika, bahkan merancang eksperimen sains. Asisten ini adalah AI, kecerdasan buatan yang semakin canggih. Jika semua siswa memanfaatkan AI untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka, apa yang akan terjadi?

Nilai ujian mungkin akan melambung tinggi. Semua siswa akan mendapatkan nilai yang bagus karena AI dapat menghasilkan jawaban yang sangat baik, bahkan sempurna. Namun, di balik nilai yang mengilap itu, tersimpan masalah yang jauh lebih besar. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa siswa benar-benar memahami materi yang diajarkan jika mereka hanya mengandalkan AI?

Kemampuan berpikir kritis dan kreativitas siswa akan terancam. AI memang bisa menghasilkan jawaban yang benar, tetapi jawaban itu seringkali bersifat mekanis dan tidak menunjukkan adanya pemikiran yang mendalam. Bagaimana kita bisa menilai kemampuan siswa dalam menganalisis masalah, mencari solusi inovatif, dan berpikir secara mandiri jika semua pekerjaan mereka dilakukan oleh AI?

Jika semua karya ilmiah dihasilkan oleh AI, maka perkembangan ilmu pengetahuan akan terhambat. AI memang bisa menghasilkan banyak ide baru, tetapi ide-ide tersebut seringkali merupakan kombinasi dari ide-ide yang sudah ada sebelumnya. Untuk menghasilkan inovasi yang benar-benar baru, dibutuhkan pemikiran yang orisinal dan kemampuan untuk menghubungkan berbagai konsep yang berbeda. Jika semua penelitian hanya bergantung pada AI, maka kita akan kehilangan kesempatan untuk menemukan solusi atas masalah-masalah kompleks yang dihadapi manusia.

Pertanyaan yang paling mendasar adalah, apakah gelar sarjana masih berharga jika tugas akhir bisa dibuat oleh robot? Jika gelar sarjana tidak lagi mencerminkan kemampuan dan pengetahuan yang sebenarnya, maka nilai dari gelar tersebut akan semakin menurun.

Dalam skenario ini, kita akan menghadapi sebuah paradoks: di satu sisi, kita menginginkan pendidikan yang berkualitas dan aksesibilitas yang luas; di sisi lain, kita juga ingin memastikan bahwa pendidikan menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan inovatif. Bagaimana kita bisa menyeimbangkan kedua hal ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun