Dalam jangka panjang, otomatisasi yang digerakkan oleh AI bisa menyebabkan gelombang PENGGANGGURAN, terutama bagi pekerja dengan keterampilan rendah. Mereka yang tidak memiliki pendidikan atau pelatihan yang memadai untuk beradaptasi dengan teknologi ini mungkin akan kesulitan menemukan pekerjaan baru. Sementara itu, mereka yang memiliki keterampilan di bidang teknologi atau mampu bekerja sama dengan AI akan tetap berada di puncak piramida ekonomi.
Di Indonesia, otomatisasi ini mulai terlihat di berbagai industri, seperti manufaktur dan retail. Di pabrik-pabrik modern, robot-robot yang dipandu oleh AI menggantikan tenaga manusia untuk tugas-tugas seperti perakitan, pengepakan, dan inspeksi produk.Â
Di sisi lain, banyak pekerja di pabrik-pabrik konvensional kehilangan pekerjaan mereka karena tidak lagi dibutuhkan dalam jumlah besar. Ketika kita berbicara tentang AI dan dampaknya terhadap tenaga kerja, pertanyaannya bukan lagi "apakah otomatisasi akan terjadi," tetapi "seberapa cepat dan besar dampaknya terhadap kesenjangan ekonomi."
Namun, haruskah kita pasrah pada kenyataan bahwa AI akan memperlebar kesenjangan ekonomi? Tentu saja tidak. Ada cara-cara yang bisa kita tempuh untuk memastikan bahwa AI justru bisa menjadi solusi untuk kesenjangan ini, bukan penyebabnya. Salah satu kuncinya adalah pendidikan dan pelatihan.
Pemerintah, dunia usaha, dan institusi pendidikan perlu bekerja sama untuk menciptakan program-program pelatihan yang membantu pekerja beradaptasi dengan teknologi AI. Ini berarti memberikan keterampilan baru kepada mereka yang terdampak otomatisasi, agar mereka bisa beralih ke pekerjaan yang lebih berfokus pada pengelolaan dan pengembangan teknologi, bukan sekadar pekerjaan manual.
Di Indonesia, beberapa inisiatif sudah mulai dilakukan untuk meningkatkan keterampilan digital masyarakat. Program-program pelatihan coding dan data science semakin populer, terutama di kalangan generasi muda.Â
Namun, tantangannya adalah memastikan bahwa pelatihan ini bisa menjangkau semua lapisan masyarakat, bukan hanya mereka yang tinggal di kota besar atau memiliki akses ke pendidikan tinggi. Tanpa upaya yang serius untuk menyebarluaskan keterampilan digital ini, AI hanya akan memperbesar jurang antara mereka yang terlatih dan yang tidak.
Tidak hanya di Indonesia, gejala kesenjangan akibat AI juga sudah mulai tampak di berbagai belahan dunia. Salah satu contoh yang sering dibahas adalah di Amerika Serikat, di mana perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Google, Amazon, dan Microsoft mendominasi pengembangan dan penerapan AI.Â
Mereka memiliki akses ke data besar, tenaga kerja ahli, dan infrastruktur teknologi yang memungkinkan mereka menguasai pasar. Sementara itu, perusahaan kecil dan menengah, terutama di daerah-daerah yang kurang berkembang, tidak memiliki sumber daya yang sama untuk bersaing.
Hal yang sama terjadi di Afrika, di mana banyak negara masih berjuang untuk membangun infrastruktur teknologi dasar. Di beberapa negara, seperti Kenya dan Rwanda, ada kemajuan pesat dalam penggunaan teknologi AI untuk mendukung sektor pertanian dan kesehatan. Namun, di negara-negara lain, kesenjangan digital masih sangat besar, sehingga hanya segelintir yang bisa merasakan manfaat langsung dari AI.