Mohon tunggu...
A Darto Iwan S
A Darto Iwan S Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis bukan karena tahu banyak, tapi ingin tahu lebih banyak. (Darto, 22 Oktober 2024)

Menulis sebagai salah satu cara untuk healing :)

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Bolehkah Kita Mengklaim Karya yang Dibuat Pakai AI sebagai Milik Kita ?

25 September 2024   15:33 Diperbarui: 25 September 2024   15:36 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Seni Karya saya sendiri (#Diecast #Photografi)

Agak susah jawabnya kan? Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, kita seringkali bertanya-tanya, terutama ketika menyangkut hak atas kekayaan intelektual (HAKI): Apakah karya yang dihasilkan dengan bantuan teknologi AI bisa dianggap sebagai hasil ciptaan kita sendiri? Pertanyaan ini mungkin semakin relevan ketika semakin banyak orang menggunakan alat berbasis AI dalam proses kreatif, seperti menulis, membuat puisi, membuat lagu, membuat animasi, mendesain, atau menciptakan lukisan.

Namun, jika kita refleksikan lebih dalam, bukankah kita yang memberi instruksi atau arahan kepada teknologi AI tersebut? Bukankah hasil akhirnya, meskipun dibantu oleh AI, masih merupakan perwujudan dari ide dan kreativitas kita? Mari kita lihat dari beberapa sudut pandang mengapa klaim bahwa karya tersebut milik kita masih sangat sah untuk diakui.

Pertama, perlu diingat bahwa yang memberikan "prompt" atau arahan kepada alat AI adalah kita, manusia. AI hanyalah alat bantu yang menjalankan instruksi berdasarkan input yang diberikan. Jika kita mengambil contoh dalam dunia desain grafis, saat seorang seniman menggunakan alat berbasis AI untuk membuat gambar, seniman tersebut yang merumuskan gagasan, memilih kata-kata atau instruksi tertentu, serta mengarahkan AI dalam proses kreatif. Tanpa input yang jelas dari manusia, hasil AI tidak akan punya arah yang spesifik.

Prompt adalah inti dari hasil yang dihasilkan oleh AI. Sebagai kreator, kita menentukan ide awal, tema, nuansa, dan batasan-batasan dalam karya. Dalam banyak kasus, keberhasilan atau kualitas hasil karya yang dibuat dengan bantuan AI bergantung pada seberapa baik dan rinci instruksi yang kita berikan. AI mungkin bisa membantu mempercepat atau mempermudah proses, tetapi ia tidak bisa berkreasi tanpa arahan yang jelas dari kita.

Alasan kedua yang seringkali diangkat adalah belum adanya aturan hukum yang jelas mengenai HAKI terkait karya yang dibantu oleh AI, terutama di Indonesia. Secara hukum, saat ini masih ada kekosongan yang memungkinkan kita untuk mengklaim bahwa karya yang dihasilkan oleh AI---yang pada dasarnya adalah hasil kolaborasi manusia dan mesin---tetap berada dalam domain kepemilikan kita. Berbagai negara, termasuk Indonesia, masih dalam tahap merumuskan aturan tentang karya yang melibatkan AI, sehingga tidak ada larangan eksplisit terkait pengakuan karya tersebut.

Jika kita melihat sejarah perkembangan teknologi, seringkali hukum tertinggal di belakang inovasi teknologi. Misalnya, ketika fotografi pertama kali ditemukan, banyak perdebatan tentang apakah foto bisa dianggap sebagai karya seni. Butuh waktu bertahun-tahun sebelum fotografi diakui sebagai bagian dari seni visual. Hal serupa mungkin berlaku untuk karya yang dibantu oleh AI. Karena belum ada peraturan yang spesifik, kita masih berada di zona abu-abu yang memungkinkan klaim atas karya tersebut.

Selain memberikan arahan melalui prompt, aspek kreativitas dan interpretasi dalam proses penciptaan karya tetap berada pada kita sebagai manusia. AI mungkin mampu memproses data dan menghasilkan hasil yang terlihat unik, namun kreativitas dalam memilih konsep, memutuskan elemen mana yang digunakan, serta bagaimana karya itu nantinya ditampilkan tetap berada di tangan kita.

Sebagai contoh, seorang penulis yang menggunakan AI untuk membantu menyusun draft tulisan tetap memegang kendali atas struktur, gaya penulisan, dan pesan yang ingin disampaikan. Ia mungkin meminta AI untuk menghasilkan ide-ide dasar, tetapi penulis tersebut yang menentukan mana yang relevan dan bagaimana mengembangkannya menjadi sebuah narasi yang bermakna. Dengan demikian, AI hanya menjadi alat bantu dalam proses kreatif, sementara visi dan interpretasi karya sepenuhnya dikendalikan oleh manusia. Setuju?

Kreativitas bukan hanya soal hasil akhir, tetapi juga tentang proses berpikir, eksplorasi ide, dan pengambilan keputusan. Semua hal ini tetap merupakan bagian integral dari peran manusia dalam karya yang dihasilkan dengan bantuan AI. Oleh karena itu, kita masih bisa mengklaim kepemilikan atas karya tersebut, karena proses kreatifnya tidak bisa sepenuhnya diserahkan pada mesin.

Sehebat apa pun teknologi AI, satu hal yang tidak bisa direplikasi oleh mesin adalah "sentuhan manusia"---perasaan, emosi, dan konteks yang mendalam dalam setiap karya. AI mungkin bisa menghasilkan teks, gambar, atau musik dengan pola-pola tertentu, tetapi mesin tidak memiliki pemahaman tentang makna mendalam di balik karya tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun