Setelah pada tahun ajaran 2008/2009 mulai diberlakukan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) pada jenjang sekolah dasar, maka pada tahun ajaran 2010/2011 nama itu berubah menjadi Ujian Nasional (UN). UN yang sedianya akan dilaksanakan selama 3 hari mulai tanggal 10 hingga 12 Mei 2011 masih memuat mata pelajaran yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya, yaitu : bahasa Indonesia, matematika, dan IPA. Banyaknya butir soal untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia sebanyak 50 butir, dan untuk 2 mata pelajaran yang lain sebanyak 40 butir dengan alokasi waktu masing-masing 120 menit. Bagi siswa yang karena alasan tertentu tidak dapat mengikuti UN dapat mengikuti UN susulan pada tanggal 17-19 Mei 2011. Hal yang sama yang juga dilakukan di tahun-tahun sebelumnya adalah pembuatan soal UN dengan persentase 25% ditetapkan oleh BSNP dan 75% ditetapkan oleh panitia UN tingkat provinsi. Lantas, apa yang membedakan UASBN dengan UN? Setelah penulis membaca peraturan yang dikeluarkan, tidak ada perubahan yang signifikan yang mempengaruhi kelulusan/ketidaklulusan siswa. Mengapa? Karena meskipun peraturan baru mengatakan siswa dinyatakan lulus/tidak tergantung dari hasil gabungan nilai sekolah dengan nilai UN dengan persentase 40:60, dengan nilai sekolah yang diperoleh dari rata-rata gabungan nilai ujian sekolah dan nilai rata-rata rapor semester 7, 8, 9, 10, dan 11 tetapi tetap saja yang berhak meluluskan/tidak meluluskan siswa adalah sekolah yang bersangkutan melalui rapat dewan guru. Sehingga UN tetap belum bisa dijadikan indikator untuk melihat kualitas siswa dengan kata lain "ngga ngefek"...
Selain itu di dalam Permendiknas Nomor 2 tahun 2011 tentang ketentuan pelaksaan UN SD tidak secara jelas ditetapkan standar kelulusan minimal siswa, sehingga setiap sekolah bervariasi dalam menetapkan standar kelulusan minimal bahkan tidak sedikit sekolah-sekolah yang menetapkan standar kelulusan minimal siswa untuk setiap mata pelajaran dengan skor masih di bawah 4. Alasannya karena berdasarkan hasil tryout siswa yang sudah dilaksanakan lebih dari 3x ternyata masih ada siswa yang memperoleh nilai di bawah 4. Hal tersebut membuat mereka tidak ingin mengambil resiko jika siswa mereka tidak lulus hanya karena standar kelulusan yang mereka buat tidak dapat dipenuhi oleh seluruh siswa.
Melihat kondisi tersebut, maka masih perlu dilakukan pengkajian ulang mengenai penyelenggaraan UN di sekolah dasar. Untuk sekolah dasar, UN masih kurang "pas" diterapkan karena UN sedikit banyak membawa "virus" ketidakjujuran, guru-guru yang seyogyanya mengajarkan sikap jujur, karena alasan ingin membantu para siswa agar lulus, akhirnya menggunakan cara-cara yang kurang etis, yang salah satunya dengan cara mengkatrol nilai siswa. Terkadang pula sampai melibatkan siswa dengan cara memberikan bocoran soal. Jika kegiatan ini dibudayakan maka lambat laun akan menjadi kebiasaan yang melekat pada diri siswa yang akan terbawa hingga mereka dewasa. Sedangkan mereka adalah para calon generasi penerus bangsa. Alih-alih ingin memperbaiki moral bangsa, yang ada adalah menyuburkan praktek amoral pada anak sejak dini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H