"Kemanusiaan adalah di atas agama,Â
di atas suku,Â
di atas bangsa.Â
Kemanusiaan adalah persaudaraan semesta."
- (WS Rendra)
Kutipan syair WS Rendra itu terus terngiang di benakku sepanjang perjalanan menuju Pesantren Al-Ittifaq di Bandung Selatan. Ekskursi yang awalnya kuanggap sebatas agenda rutin sekolah, ternyata jauh melampaui ekspektasiku. Bukan hanya sekedar kunjungan biasa, pengalaman di Al-Ittifaq berubah menjadi sebuah perjalanan spiritual yang menggetarkan jiwa dan membuka mata hatiku akan makna sejati persaudaraan. Di sana, di tengah kebersamaan dengan para santri, prasangka dan stereotip yang selama ini membelenggu pikiran luruh satu per satu, digantikan oleh pemahaman yang lebih mendalam tentang arti toleransi dan penerimaan.
Keberangkatan pagi itu diwarnai dengan beragam perasaan. Ada semangat petualangan yang menggebu-gebu, membayangkan pengalaman baru yang akan kurasakan. Namun, jujur saja, ada pula kecemasan meninggalkan zona nyaman. Saya masih ingat betapa gelisah hati ini, terbayang tumpukan tugas yang terbengkalai dan rutinitas yang terganggu. "Ah, ekskursi ini hanya akan membuang-buang waktuku saja," gumamku dalam hati.
Namun, seiring roda bus yang berputar, perlahan kegelisahan itu berganti dengan rasa penasaran yang kian membuncah. Pemandangan di luar jendela berganti dari gedung-gedung pencakar langit menjadi pepohonan rindang dan hamparan sawah yang menyejukkan mata. Perlahan, pikiran negatif mulai sirna, digantikan oleh antusiasme untuk menjelajahi dunia baru yang menanti.
Sesampainya di Pesantren Al-Ittifaq, saya disambut dengan kehangatan yang tulus. Suasana asri dan nyaman seketika menepis keraguan yang sempat bersarang di hati. Kompleks pesantren itu sangat luas dan tertata rapi. Bangunan-bangunan pondok berwarna putih bersih berjajar dengan indah, dikelilingi oleh taman-taman yang asri dan pepohonan rindang. Suara burung berkicau dan gemericik air menambah kedamaian suasana. Di sana, saya menemukan sebuah oase di tengah gurun prasangka. Para santri, dengan senyum ramah dan tatapan tulus, mengajarkan arti sejati dari toleransi dan persaudaraan.
"Selamat datang di Al-Ittifaq," sapa Mas Gibran, salah satu santri di sana, dengan ramah. "Semoga kalian betah di sini." Keramahan mereka yang tulus membuatku merasa disambut sebagai seorang sahabat, bukan sekedar tamu.