Pemilihan anggota legislatif baru selalu merupakan titik harapan bagi rakyat tertentu yang berharap adanya perubahan, terutama rakyat kecil yang telah lama tercekik dengan krisis ekonomi. Titik harapan itu seolah terwujud ketika gedung parlemen kembali ramai diskusi dan rapat dengan terlihat dalam cakramata begitu seriusnya dan penuh agenda penting. Namun, tak berapa lama, isu-isu tentang keinginan akan meningkatkan tunjangan dan fasilitas mewah bagi anggota dewan memenuhi permukaan. Para wakil rakyat ini, malah memperjuangkan kenaikan tunjangan perumahan, sedangkan kondisi ekonomi semakin sulit, dengan banyaknya rakyat yang terkena pemanggilan di mana-mana, bahkan kehilangan pekerjaan dan banyak lain lagi merasa ketidakpastian arah finansialnya. Isu ini menimbulkan pertanyaan yang sulit: apakah keinginan mereka memang hanya +berkiblat pada perhatian kesejahteraan rakyat atau mungkin tertuju pada keuntungan pribadi? Sebagai wakil rakyat, parlemen seharusnya memiliki komitmen moral yang kuat untuk berjuang demi kemakmuran masyarakat, bukan sebaliknya. Ironically, tampaknya mereka lebih mengutamakan fasilitas dan tunjangan perorangan yang mendukung keamanan masing-masing. Sebagai contoh, di negara barat seperti Norwegia, wakil rakyat tidak mendapat tunjangan lebih yang berlebih. Mereka naik kendaraan umum dan tinggal dalam rumah yang tak jauh beda dengan masyarakat kebanyakan. Di Indonesia, isu tunjangan anggota dewan berbeda horizon dengan semangat melayani, terlebih ketika rakyat sedang berjuang hidup dalam krisis ekonomi yang mendukung.
Hari demi hari, beban ekonomi rakyat semakin bertambah, terutama bagi warga kecil yang harus menghadapi kenaikan harga berbagai bahan pokok, PHK, dan penurunan daya beli. Akan tetapi hal itu berbanding terbalik dengan apa yang terjadi pada wakil rakyat. Bisa dibayangkan, seorang kuli pabrik yang tiap hari bekerja hingga lelah hanya untuk memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Di sisi lain, balik gedung megah parlemen, anggota dewan justru minta tambahan tunjangan untuk kenyamanan rumah dinas yang dimiliki, apa pun alasan yang mendasarinya. Masa jurang ketimpangan yang begitu bragar, rakyat susah payah hidup sementara yang diwakilinya justru berfoya-foya. Mungkin di beberapa titik, kenyataan ini semakin mencolok. Di salah satu provinsi di Indonesia, banyak keluarga di sana kehilangan sumber penghasilan utamanya akibat pandemi. Fakta dari ketidakadaan pekerjaan membuat banyak warga di sana rela tinggal dengan santunan sosial yang jumlahnya wangi. Tapi di tengah krisis, nampak sejumlah anggota dewan daerah itu malah menyalurkan permohonan tambahan tunjangan dan perjalanan dinas karena “biaya hidup naik”. Parahnya lagi, hampir tidak pernah terlihat anggota dewan turun ke lapangan meminimalisasikan sulitnya rakyat.
Kebijakan peningkatan tunjangan kepada anggota dewan di masa krisis ini seperti melukiskan ketidakseimbangan yang ada. Di waktu banyak keluarga harus bertahan dengan pendapatan yang sangat minim, anggaran jasananya justru dialokasikan kepada kebutuhan pribadi para wakil rakyat. Kebijakan semacam ini jelas membuka mata bahwa kondisi ekonomi yang rakyat rasakan tidak sebanding dengan apa yang terjadi kepada wakil rakyat. Seharus perwakilan masyarakat bisa menahan diri dan menjaga alokasi anggaran kepada program-program pembantu masyarakat dalam menghadapi krisis bila mereka benar-benar memprioritaskan kesejahteraan rakyat. Untuk menggambarkan ketidakadilan tindakan ini, analogi sederhana bisa diberikan. Jika dana negara diibaratkan sebuah roti yang di luar itu bagi rata-rata untuk masyarakat lapar, anggota dewan malah meminta lebih dan lebih lagi dengan berdalih keseimbangan. Sehingga masyarakat akan mendapat semakin sedikit lauk roti tersebut. Pikir seperti apa jika anggota DPR menempatkan kenyamanan pribadi di atas kesejahteraan masyarakat dalam pembagian ini. Di fuang sesungguhndya, selain tunjangan perumahan, tunjangan yang diterima para anggota dewan jauh dari istilah “sederhana”. Banyak anggota dewan dilengkapi fasilitas kendaraan dinas, biaya perjalanan, ke fasilitas kesehatan premium. Pinjaman tersebut pada akhirnya memicu pertanyaan, apakah jumlah yang dialokasikan kepadanya sepadan dengan kontribusi dan kinerja yang diberikan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam situasi tertentu, fasilitas ini terasa kontras, jika bukan eksploitasi, ketika merunut kenyataan kehidupan rakyat kecil setiap saat, firman Allah beruntung bermanfaat seakan-akan ada yang ditawarkan demi kesejahteraan publik.
Dalam situasi tertentu, rakyat memerlukan wakilnya untuk memprioritaskan kebutuhan mereka sekaligus mengedepankan kebutuhan pribadi. Namun, jika anggaran negara dioperasikan secara bijaksana dan prioritas kepada kepentingan yang lebih besar, maka tidak ada yang tidak bisa diselesaikan. Salah satu contoh ialah anggaran tersebut dapat digunakan tidak untuk tunjangan anggota dewan, tetapi digunakan untuk perbaikan fasilitas kesehatan, mutu pendidikan, atau program-program bantuan bagi masyarakat yang terdampak krisis. Adapun ketika para wakil rakyat dapat memperjuangkan kesejahteraan masyarakat mereka, maka hal tersebut dinamakan sebagai nyata peduli, bukan sebalinya. Dengan kata lain, rakyat memerlukan wakil rakyat yang memiliki perasaan apatis, yakni yang merasakan dan dapat memahami berbagai kesulitan yang dihadapi masyarakat. Akhirnya, tuntutan tunjangan berlebihan hanya akan memperjauh jarak antara anggota dewan dan rakyat yang mereka wakilkan. Rakyat memerlukan pemimpin yang mau berkorban demi kebaikan umum dan bergandengan tangan bersama mereka, khususnya saat ini. Dengan mengistimewakan kebutuhan masyarakat, rakyat memperlihatkan bahwa mereka berhak menjadi wakil rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H