Mohon tunggu...
Muhamad Nur Alim
Muhamad Nur Alim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Prodi PGSD UM Kuningan

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Diary

Sudut Pandang (Part II) "Mengikhlaskan kekecewaan"

28 Agustus 2024   05:54 Diperbarui: 28 Agustus 2024   09:40 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disini mungkin aku hanya ingin bercerita tentang keriuhan pikiranku saat ini.       

Hai... Namaku Muhamad Nur'alim, nama yang diambil dari straiker timnas yang katanya andalan timnas Indonesia oleh orang tuaku saat itu, ya di tahun 2002, tepat dimana saat aku lahir. Keluargaku adalah keluarga yang baik, keluarga yang selalu punya mimpi, ya karena bapakku selalu punya prinsip bahwa hidup harus punya mimpi dan target, makanya bapak selalu punya target dalam jangka waktu 5 tahun ke depan, semisal tahun pertama menikah harus sudah punya tanah, tahun kedua harus sudah mulai bangun rumah, tahun ketiga punya anak, tahun keempat rumah sudah rapi, dan tahun kelima sudah punya mobil. Prinsip itu selalu kita pegang hingga target kita selalu tepat dan kita selalu bertumbuh.

Tapi ketika aku sudah mulai masuk sekolah dasar, di umur 6 tahun, rumahku selalu berisik, bapak sering marah sama mamah, entah kenapa bapak sangat sensitif, dan aku selalu melihat mamah nangis. Bahkan momen yang sangat aku ingat dan sepertinya aku ga akan pernah lupa, ketika kita kumpul di ruang keluarga, bapak tiba-tiba marah lalu kemudian dia menendang meja sampai terjungkal dan kacanya pecah. Seketika aku shock dan langsung berlari ke rumah nenek yang kebetulan jaraknya tidak terlalu jauh, aku bertemu nenek disana sambil mengeluarkan air mata. Entahlah aku tak tahu apa masalahnya, karena umurku yang masih sangat kecil sangat tidak faham dengan permasalahan seperti itu, tapi yang aku tahu pada saat itu adalah sifat bapakku yang selalu marah-marah ke mamah walau karena masalah yang menurutku sepele.

Hingga akhirnya aku sampai di persimpangan jalan, dimana aku sudah lulus dari SD dan harus melanjutkan sekolahku. Orang tuaku memberikan aku pilihan, apakah akan lanjut di sekolah umum atau pondok pesantren. Pikiranku yang pada saat itu riuh, tak berpikir panjang aku memilih untuk pergi dari rumah dan belajar di pondok pesantren. Untungnya pesantren pilihanku adalah pesantren modern, jadi aku sangat disibukkan dengan kegiatan-kegiatan disana sehingga aku bisa melupakan hal-hal berisik dirumahku. Sampai dimana akupun bisa hidup tenang tanpa memikirkan permasalahan keluarga yang menurutku justru beban pikiran bagiku, aku hanya fokus ke masa depanku.

            Singkat cerita ketika aku lulus pesantren aku ditugaskan untuk mengajar di salahsatu sekolah yang dimana aku menjadi wali asuh santri disana, sehingga akupun tidak tinggal dirumah. Dan itu adalah kesempatan bagiku untuk bisa menjauh dari rumah. Ya mungkin terdengar aneh yang seharusnya rumah adalah tempat kita kembali, tempat dimana kita bisa menuangkan segala keluh kesah, namun nyatanya bagiku tidak, justru rumah adalah tempatku menambah pikiran, tidak membuatku tenang.

Ketika aku sudah dewasa, dimana aku sudah menjadi mahasiswa yaitu diumur 22 tahun, aku masih belum bisa tinggal dirumah kala itu, aku mengambil tawaran dari dosen di kampus untuk bisa menempati rumah yang diperuntukkan marbot masjid. Ya, akhirnya aku ambil tawaran itu sambil aku membantu lembaga di kampusku. 10 tahun berlalu aku hidup diluar rumah, aku selalu mencari alasan untuk tidak pulang walau ibuku selalu menyuruhku pulang. Bukan karena aku ga mau pulang, bukan karena aku ga rindu, tapi suasana rumah yang seakan-akan mebuatku enggan untuk pulang.

Sampai dititik aku tidak kuat dengan segala dinamika di keluargaku. Aku curahkan semua keluh kesah dalam pikiranku, sampai pada akhirnya bapak dan mamah mengeluarlan semua permasalahan yang sebenarnya terjadi. Sehingga aku faham kenapa bapak selalu marah. Mamah yang selalu memihak ke ayahnya, menomor duakan suami yang seharusnya menjadi prioritas. Permintaan ayahnya selalu di ikuti walau menyalahi hasil dari diskusi bapak dan mamah. Mulai dari tanah bapak yang dijual tanpa izin, bentuk rumah yang tiba-tiba dirubah, dan pemberian bapak yang ditolak mentah-mentah. Tapi anehnya mamah masih selalu membela ayahnya. Ketika itu bapak meminta pandangan kepada setiap anak-anaknya, karena bapak sudah tidak kuat lagi bertahan selama bertahun-tahun yang nyatanya mamah tidak pernah berubah. Bapak ingin berpisah.

Aku adalah anak kedua dari satu kakak perempuan yang saat ini sudah menikah dan 3 anak yang masih kecil-kecil semua, adik laki-laki yang saat ini menjadi santri di tempat dulu ku menimba ilmu. Kami menerima kesepakatan bahwa bapak dan mamah akan resmi berpisah.

Aku bingung, kenapa masalahnya menjadi semakin rumit, ditambah kakakku adalah seorang guru di SD, yang setiap pagi harus mengajar ke sekolah, sehingga tiga anaknya selalu mamah yang mengurus, bukan hanya itu, sifat kakakku yang masih ketergatungan pada orang tua, pakaian selalu mamah yang cucikan, sampai pernah mamah harus oprasi karena kecapean. Aku sering omongin mamah buat jangan terlalu manjain kakak, tapi omonganku ga pernah didengar. Setelah kejadian itu bapak jadi sering cerita, dan akhirnya aku faham kenapa bapak suka marah-marah, seakan-akan perjuangan bapak selama ini tidak pernah dihargai. Aku tidak menyalahkan siapapun, mungkin ketika aku di posisi bapakpun aku akan melakukan hal yang sama karena tingkat kesabaran juga ada batasnya. Dan mungkin ketika aku jadi mamahpun mungkin aku akan bingung karena orang tua adalah sosok yang selama ini sudah melahirkan kita, sudah mengurus kita hingga besar, tidak  mudah menolak perminataan dan arahannya. Kakakpun yang memang menurutku masih belum matang untuk kemudian menjadi seorang ibu.

Saat ini aku hanya bisa memaklumi, aku mencoba melihat dari berbagai sudut yang pada akhirnya tidak bisa kita menyalahkan salahsatu pihak, masing-masing punya bagian dari kesalahan itu, aku mencoba untuk bisa menerima dan menjadikan pelajaran bahwa setiap orang punya kekurangan, setiap orang punya ego, tinggal kita memilih mau atau tidak menambal kekurangan tersebut, mau tidak mengalahkan egoisme dalam diri kita. kita yang menentukan. Dan untuk mempertahankan pertemanan bahkan cinta dalam sebuah hubungan tidak bisa jika hanya menerima kelebihan saja. Perlu ada pengorbanan jiwa dan raga bahkan perasaan yang tak terhingga demi terjalin sebuah hubungan yang langgeng. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun