Mohon tunggu...
Daron AlfaAgustinusRahardianto
Daron AlfaAgustinusRahardianto Mohon Tunggu... Administrasi - Pendidik

Sejarah itu bapaknya ilmu-ilmu; suaminya Filsafat; saudaranya Seni dan Bahasa; temannya Matematika; dan anaknya Agama.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sejatinya Kita adalah Indonesia

9 Desember 2015   20:51 Diperbarui: 9 Desember 2015   22:41 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semakin tua usia suatu negara, semakin tampak identitas suatu bangsa. Pernyataan itu seharusnya terwujud dalam rangka setiap memperingati kemerdekaan Republik Indonesia. Namun ada keprihatinan bahwa beberapa tahun ke depan peringatan kemerdekaan RI hanya berupa ritual rutin tahunan yang tidak disertai penjiwaan nasionalisme mendalam akibat beberapa gejala xenosentrisme.

Gejala pertama, ungkapan ‘lebih baik dijajah Inggris daripada Belanda’ adalah gejala pertama dalam benak generasi muda sekarang ini. Siapa yang mengajarkan generasi masa sekarang dapat berpikir demikian? Mereka kerap membandingkan hasil kolonialisme Belanda dengan imperialisme Inggris di negera-negara Asia. Fakta membenarkan negara-negara Persemakmuran Inggris bertaraf hidup unggul.

Kemudian, sebagai gejala kedua, pemakaian bahasa Inggris merasuk hebat ke alam masyarakat global melalui peran media sosial yang dipakai di semua bidang. Beberapa orang masa kini akan dianggap modern apabila dapat ber-cas-cis-cus ria, atau paling tidak turut mencampurkan beberapa kosakata bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. Lebih keren, berkelas, terlihat intelek atau berpendidikan.

Lalu, gejala terakhir berupa sistem ekonomi bebas, baik dalam kawasan maupun antar kawasan yang tidak dapat dielakkan lagi. Katakanlah kebijakan privatisasi yang perlahan subur, perputaran arus modal yang kuat, dan pembukaan pasar seluas-luasnya. Lama-lama negara ini benar-benar menjadi pasar yang dilimpahi merk-merk asing. Tentunya membawa   label-label asing yang dengan mudah dipakai berulang-ulang. Lalu banyak dari generasi muda berlomba-lomba memiliki benda-benda asing yang dapat diprediksi dengan mudah: tak punya identitas dan kebanggaan terhadap produk-produk lokal!

Dari ketiga gejala itu saja, sangat pantaslah jika ada masyarakat negara tetangga kita menyebut bangsa ini dengan kicauan indown. Pasalnya, jika generasi muda memahami sejarahnya, Inggris hanya berpengaruh besar pada beberapa periode dan wilayah di negeri ini. Pengaruh Inggris hanya jelas pada masa Raffles (1811-1816) dan pasca proklamasi kemerdekaan hingga Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda. Lalu mengapa gejala-gejala itu dapat tumbuh di alam pikiran dan kehidupan generasi muda kini?

Tiada lain Inggris begitu unggul dalam perannya sebagai anggota Sekutu pasca Perang Dunia II yang bertugas mengurus Asia Tenggara selepas kekalahan Jepang. Sesungguhnya Amerika Serikat juga berperan besar sebagai bangsa yang menuturkan bahasa Inggris ke seluruh dunia pada masa Perang Dingin berlangsung dan hegemoninya yang makin mendunia pasca Perang Dingin di era tahun 1990-an.

Secara laten dan tak langsung, Inggris terbantukan dengan peran besar negara adidaya tersebut dalam mempopulerkan identitas negaranya yakni bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa pergaulan internasional. Walaupun banyak generasi muda lebih mudah bertutur dengan aksen Amerika, tapi tetap saja yang disebut adalah bahasa Inggris, bukan bahasa Amerika. Itulah identitas yang perlu dibanggakan monarki termashyur di Eropa.

Bangsa ini jelas bukanlah bagian dari Persemakmuran Inggris, tetapi kurang bangga menggunakan bahasa Indonesia. Undang-undang Dasar 1945 masih mencantumkan pasal mengenai bahasa Indonesia sebagai identitas negara ini. Negara yang terdiri dari beragam bahasa daerah ini tidak bermaksud memusnahkan bahasa-bahasa daerah tetapi harus mengakui bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa perekat identitas negara.

Kini bahasa Inggris terlanjur mendunia, tetapi bijak-bijaklah menggunakannya. Tidak perlu memamerkan keahlian berbahasa Inggris kepada lawan bicara yang tidak mengerti bahasa Inggris, atau di depan umum hanya karena ingin dianggap berwawasan luas. Jika demikian, mental bangsa ini masih dijajah oleh asing secara tidak langsung. Pemakaiannya akan lebih mengena sepanjang berurusan dengan bangsa asing yang berbahasa Inggris diberbagai bidang.

Namun, penulis tidak melarang untuk menggunakan bahasa Inggris secara ekstrim. Gunakan bahasa asing dalam lingkup pergaulan internasional, bukan dalam lingkup nasional.

Generasi muda sekarang ini seolah-olah berhasil memalingkan diri dari bahasa Belanda yang pernah populer bagi generasi sebelum masa kemerdekaan. Politik asimilasi bahasa Belanda memang sukses pada masa itu melalui jalur pendidikan. Untungnya dalam merancang UUD 1945, para pendiri negeri ini sangat sadar akan pentingnya identitas sehingga mencantumkan bahasa Indonesia. Kini bahasa Belanda hanya dipakai untuk kepentingan-kepentingan dan kalangan tertentu, berbeda dengan bahasa Inggris yang telah merebak dimana-mana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun