Andai saya seorang Protestan Amerika, tentu saya tidak akan memilih Donald Trump.
Andai saya seorang Muslim Amerika, tentu saya harus menolak kampanye Donald Trump.
Andai saya seorang Katholik Amerika, tentu saya akan matikan siaran Donald Trump.
Andai saya seorang Indian Amerika, tentu saya lemparkan buku Sejarah Amerika pada Donald Trump.
        Begitulah pernyataan emosional saya sebagai warga dunia yang masih memandang Amerika sebagai negara adidaya di abad XXI ini.
Amerika yang saya maksudkan di sini adalah United States of America (USA), bukan untuk semua negara yang berada di benua Amerika.
        Pernyataan Donald Trump dalam kampanyenya kurang dari seminggu lalu yang saya kutip dari harian Kompas bahwa Donald Trump menyerukan pencegahan total dan menyeluruh orang-orang Muslim memasuki Amerika Serikat sampai perwakilan-perwakilan negara dapat mengetahui apa yang sedang terjadi.
Menurut saya ini terlalu mengada-ngada.
Semakin tua seharusnya berpikir dengan bijak tanpa mengesampingkan identitas pribadi warga negaranya.
        Kalau saya ajak pembaca kompasiana untuk kembali pada tiga abad lalu sembari membuka buku-buku sejarah tentang berdirinya negara Amerika Serikat, tentu semua sepakat bahwa 13 koloni bangsa Inggris di pesisir timur Amerika Serikat ingin merdeka dari Kerajaan Inggris. Mereka menghendaki kebebasan.
Bukankah Amerika Serikat dibangun dari asas Kebebasan?
Mengapa tiba-tiba terjadi pelarangan?
Andai saja warga asli Indian Amerika dapat berpikir lebih maju dari imigran bangsa Inggris tiga abad lalu, tentu tidak akan terbentuk negara Amerika Serikat sekarang ini.
        Sampai saat ini, Amerika Serikat dalam benak saya adalah simbol kebebasan bagi setiap warga dunia yang ingin hidup sebagaimana layaknya manusia hidup.
Sungguh aneh pernyataan calon presiden dari Partai Republik itu.
Masyarakat Amerika Serikat kini bukan lagi masyarakat monokultur. Beragam budaya dan agama tersebar dari timur ke barat Amerika Serikat.
Saya yakin wakil-wakil dari Partai Demokrat USA tidak sepakat dengan pernyataan itu.
         Dalam pikiran saya, menjauhkan wilayah Amerika Serikat dari orang-orang Islam di dunia sesuai pernyataan Donald Trump, berarti tidak jauh berbeda dengan peristiwa masa lalu berupa politik isolasi seperti di:
a. Jepang, pada zaman Edo dikenal politik Sakoku (menutup diri dari dunia luar).
b. Spanyol, pada masa Raja Felipe III yang mengusir orang-orang Muslim (Moro) keluar dari Andalusia, semacam tindakan pembalasan pasca Perang Salib terhadap orang-orang Muslim dimana pun berada (Reconquista).
Jika memang benar adanya, apa arti demokrasi dan kebebasan Hak Asasi Manusia bagi diri Trump?
Bukankah semua bangsa dari berbagai budaya dan agama yang datang ke USA, lalu menetap, berbahasa American-English, dan sudah mengakui Amerika Serikat sebagai tanah kelahirannya dan identitasnya berhak disebut sebagai Warga Negara Amerika (USA)?
Lebih jauh lagi, saya tidak tahu ke mana arah jelas kampanye Trump bagi masa depan Amerika Serikat.
Yang jelas bila kemenangan berpihak pada Partai Republik, tidak ada lagi kebebasan menikmati tanah Paman Sam bagi imigran dan turis umat Muslim dunia. Begitu pun bagi saya.
Â
Referensi:
An Outline of American History. 1994. United States Information Agency. Hlm. 30-33
Thomson, Ahmad dan Muhammad 'Ata' Ur Rahim. 2004. Islam Andalusia: Sejarah Kebangkitan dan Keruntuhan. Gaya Media Pratama: Ciputat. Hlm. 42-43
http://internasional.kompas.com/read/2015/12/08/10100041/Donald.Trump.Larang.Semua.Orang.Muslim.Masuk.AS
Sumber gambar: muslimvillage.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H