Tahun 2004 silam, masih teringat di dalam memori. Itulah saat-saat menentukan dalam hidupku. Apakah menjadi seorang pelaut ataukah melanjutkan sekolah dengan meraih gelar sarjana? Tuntutan ekonomi keluarga dan desakan pemilik kapal. Ia telah berhasil membujuk Ibu agar saya ikut berlayar lagi kali ini.
Demi mengepulkan asap dapur. Dimana Ayah sudah tidak mampu lagi bekerja seperti dulu. Dilihat dari usia, saya sudah layak untuk membantu orang tua. Tapi dilihat dari fisik dan tenaga, saya tidak terbiasa bekerja berat. Inilah takdir hidup yang harus saya jalani.
Saat menikah usia Ayah dan Ibu terlampau jauh. Namun saya tidak bisa menolaknya karena Ayah saya sangat mencintai Ibu saya. Mereka berdua pun berjodoh. Itulah takdirnya. Saya seringkali bertanya kepada Ayah perihal itu. Pertanyaan tersebut membuat Ayah saya sedikit emosi. Sejak kecil saya memang anak yang suka bertanya. Kadang orang-orang bingung dengan pertanyaan saya.
Saya selalu berpikir dalam hati, "Bagaimana nasibku kelak?", apakah nanti sama seperti Ayah yang hanya menjadi seorang petani mengharapkan air hujan. "Namun seberat apa pun cobaan hidup saya adalah seorang laki-laki, kelak, In Syaa Allah, saya harus sukses", hiburku dalam hati.
Namun sejujurnya pekerjaan itu sangat saya tidak sukai. Sedikit tergores rasa kesal kepada pemilik kapal. Dengan bujukannya, akhirnya Ibu saya terpaksa merelakan kepergian kami. Tujuan kami kali ini adalah pelabuhan gorontalo.
Dengan tenaga yang terbatas, Saya mengangkat jangkar kapal pertama kalinya. Tali yang digunakan cukup besar. Sedikit ada goresan di telapak tangan karena tali itu. Kakak saya menghampiri dan membantu menambatkan tali jangkar di bagian buritan kapal.
Kakak mengajari saya bagaimana cara melilitkan tali jangkar saat jangkar terangkat. Tapi dasar bodohnya saya, sampai saat ini saya belum mahir menambatkannya. Lalu saya dihadiahi sebuah kata-kata bodoh. Begitulah suasana sesama awak buah kapal. Kata para pelaut itu hal yang lumrah. Namun saya yang masih pemula saat itu merasa ini bukan metode yang tepat untuk mengajari orang.
Kapal berlayar dengan pelan, melewati sela-sela tiang yang tertancap. Sang Kapten atau pemilik kapal dengan hati-hati keluar dari kampung tua yang telah kosong penduduknya karena bencana gempa bumi tahun 2000.
Setelah melewati lautan dangkal, kapal berlayar ke arah pelabuhan Bolonan untuk mengangkut muatan kacang. Tidak ada jembatan, kapal kami berlabuh di depan kampung. Muatan kapal kali ini berupa kacang yang diangkut para buruh pelabuhan. Mereka membawanya dengan menggunakan perahu rakit.
Hari itu adalah hari yang sangat menyakitkan. Tak terhitung kata-kata bodoh dilontarkan kepada saya. Saya berpikir dalam hati, "Yaa Allah, beginikah hidup ini?". Sebenarnya saya bukan orang yang cepat tersinggung. Pada dasarnya, saya memang tidak menyukai pekerjaan ini. "Saya akan mendaftar SMA lalu melanjutkan ke perguruan tinggi kalau saya punya kesempatan," kataku dalam hati.
Setelah semuanya selesai, saya menyempatkan shalat zhuhur di dalam kapal. Ayah berpesan kepada saya agar tidak meninggalkan shalat. Malam hari cahaya bulan sangat terang, lautan teduh. Saya mulai menikmati berlayar dengan kapal. Layar dibentangkan. Kapal kami melaju seperti kapal dalam film The Pirates Of The Carribean. Â Indahnya pemandangan laut di malam hari. Tiba-tiba kapal berhenti karena kata kapten kapal, baling-baling tersangkut tali jadi harus ada satu orang yang turun ke laut untuk melepaskan tali yang terlilit pada baling-baling.