Nama Penulis : Tere Liye
Judul Buku : Rindu
Penerbit : Republika
Jumlah Halaman : 544 Halaman
Tahun Terbit : 19 September 2014
Novel Rindu menceritakan tentang pelayaran panjang sebuah kerinduan di dalam kapal yang berisi jamaah haji di masa lampau, tepatnya pada masa penjajahan Belanda. Kisah dalam novel ini diceritakan dalam sebuah kapal Blitar Holland pada saat musim haji di bulan desember tahun 1938. Suasana haji mempertemukan para tokoh yaitu Keluarga Daeng Andipati, Gurutta, Bunda Upe, Pasangan Mbah Kakung & Mbah Putri, Ambo Uleng serta tokoh lain yang turut serta dalam pelayaran. Mulai dari Daeng Andipati yang merupakan seorang pengusaha muda dari Makassar yang ingin melaksanakan ibadah haji bersama istri dan dua anaknya yaitu Elsa dan Anna. Lalu ada Gurutta Ahmad Karaeng yang terlihat berbahagia atas perjalanan panjang ini, padahal ada banyak pertanyaan yang mengusik hatinya. Serta Ambo Uleng, seorang mantan pelaut yang kini menjadi Kelasi di kapal Blitar Holland yang pendiam dan menjadi awal dari cerita ini bermula. Nyatanya, takdir mereka tidak terjadi pada “saat itu” saja, melainkan juga mengusik masa lalu masing – masing dari mereka yang sepanjang perjalanan menuju ke tanah suci mendapatkan jawaban atas pertanyaan hidup mereka selama ini. Novel ini mengisahkan kepada kita tentang seseorang yang membenci seuatau yang seharusnya ia sayangi, tentang kehilangan kekasih hati, kemunafikan, masa lalu yang berat dan juga cinta sejati.
Selama perjalanan menuju tanah suci, untuk mengisi waktu perjalanan yang cukup lama di dalam kapal, Gurutta Ahmad Karaeng memiliki ide untuk mengadakan pendidikan bagi anak – anak dan orang dewasa yang ada di kapal. Usulan ini sempat ditolak oleh Lucas yang merupakan serdadu kapal Blitar Holand. Lucas khawatir pendidikan yang diberikan Gurutta dapat memprovokasi penumpang untuk memperoleh kemerdekaan. Namun, setelah bernegosiasi dengan memenuhi beberapa persyaratan, pembelajaran di kapal akhirnya dapat diwujudkan.
Kapal Blitar Holand terus melaju dan berhenti dari pelabuhan ke pelabuhan satu ke pelabuhan berikutnya untuk mengangkut jamaah Haji. Konflik yang diawali saat kapal tiba di Pelabuhan Surabaya, bertepatan dengan penyerangan para pejuang kemerdekaan, menimbulkan kepanikan masyarakat akibat tindakan tentara Belanda. Kapal yang berlabuh cukup lama membuat Daeng Andipati dan penumpang lain turun untuk berbelanja. Akan tetapi mereka belum menyadari bahwa sedang ada kerusuhan yang melanda kota itu. Kerusuhan ini meluas hingga ke pasar yang dihadiri Daeng Andipati dan anak-anaknya saat kapal sedang berlabuh. Anna, anak bungsu Daeng Andipati mengalami banyak luka akibat kerusuhan. Untungnya, dengan bantuan Ambo Uleng yang saat itu juga singgah ke pasar yang sama dengan Andipati, berhasil menyelamatkan anak Andipati dari kekacauan tersebut. Sedangkan Ambo Uleng sendiri mengalami banyak luka parah akibat menyelematkan Anna pada saat kerusuhan di pasar. Sejak itu keluarga Daeng Andipati sangat menyayangi Ambo Uleng seperti keluarga sendiri.
Perjalanan kemudian dilanjutkan menuju Pelabuhan Semarang, dengan diikutsertakannya Bapak Soerjaningrat dan Bapak Mangunkusumo yang keduanya terlibat aktif dalam mendidik anak-anak sekolah di atas kapal Blitar Holland. Bapak Soerjaningrat dan Bapak Mangunkusumo mengajarkan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial kepada anak – anak di kapal. Sementara pelajaran agama diampuh oleh Gurutta dan juga Bundo Upe secara bergantian di setiap subuh dan sore hari.
Sesampainya di Pelabuhan Semarang, delapan puluh peziarah tambahan, termasuk Mbah Kakung dan Mbah Putri, ikut serta dalam pelayaran tersebut, sehingga menambah semaraknya. Perjalanan kapal menjadi semakin beragam dengan kehadiran mereka. Pada hari ketujuh, tepatnya tanggal 8 Desember 1938, kapal bersandar di Pelabuhan Batavia. Para penumpang kapal banyak yang turun termasuk Gurutta, Daeng Andipati dan keluarga, Bundo Upe dan suaminya serta penumpang – penumpang lain. Yang mengejutkan, saat rombongan Daeng Andipati yang sedang bersiap menikmati soto Betawi, terlihat Bundo Upe berlari sambil menangis ditemani suaminya menuju ke arah kapal. Sejak hari itu Bundo Upe tidak pernah keluar dari kamarnya dan juga tidak lagi mengajar mengaji anak – anak kapal. Suaminya hanya memberi alasan pada setiap orang yang bertanya bahwa Bundo Upe sedang sakit. Lalu sebenarnya apa yang terjadi pada Bundo Upe? Bagaimana akhir dari perjalanan panjang kapal Blitar Holand pengangkut Jamaah Haji itu?.