Mohon tunggu...
Darmin Hasirun
Darmin Hasirun Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis Agar Menjaga Nalar Sehat

Saya hobi menulis, menganalisis, membaca, dan travelling

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Hukum Rimba di Negara Hukum

6 Juni 2024   22:27 Diperbarui: 6 Juni 2024   23:44 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia dikenal sebagai negara hukum (rechtsstaat) tetapi seakan diri ini merasakan para kaum oligarki sedang sibuk bertengkar dan memperebutkan jabatan demi mendapatkan kursi tertinggi dengan bertopeng atas nama rakyat Indonesia. Lihatlah fenomena setiap menjelang pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah ada banyak golongan para pengusaha, pejabat, anaknya pejabat, artis, atau public figure yang saya golongkan sebagai kelompok oligar, mereka mencoba peruntukannya dengan mendaftarkan diri di KPU/KPUD, secara regulasi usaha para kaum oligar tidak ada salahnya, bahkan kebijakan negara memberikan keleluasaan setiap warga negara untuk mendaftarkan diri menjadi calon pemimpin negara maupun daerah. 

Disisi lain, para oligar bebas mencalonkan diri tetapi disisi lain terlihat kontras dimana rakyat jelata hanya menjadi penonton bahkan dijadikan alat politik untuk diadu domba antar kelompok pendukung satu dan pendukung lainnya. Para oligar seperti berkendaraan di atas jalan tol, sedangkan rakyat jelata berjalan dengan merayap. Padahal spirit lahirnya gagasan demokrasi untuk menjadikan kaum mayoritas yaitu rakyat jelata agar mempunyai kesempatan besar untuk mencalonkan diri dalam setiap kontestasi dan dipilih menjadi pemimpin tetapi itu hanyalah sebagai cerita dongeng di siang hari. 

Sepertinya hukum rimba telah berlaku di negara rechtsstaat Indonesia bah di dalam hutan siapa yang kuat dialah yang menang, begitu juga dalam konteks politik negara yang mempunyai jabatan tinggi dan uang banyak sangat berpotensi menjadi pemimpin di daerah maupun negara. Rakyat jelata hanya dihitung tidak diperhitungkan, dianggap sebagai bahan hitung-hitungan angka kemenangan dan jauh dengan upaya mengangkat harkat dan martabat mereka. 

Di dalam proses kampanyepun sangat mencolok kandidat yang mempunyai banyak dana terlihat lebih massif dan kuat melancarkan kampanye diberbagai media sosial, pemasangan spanduk, bahkan dengan entengnya memobilisasi massa dalam jumlah ratusan orang bahkan ratusan ribu orang untuk dapat menyaksikan kampanye akbar mereka, situasi seperti ini jauh dimiliki oleh rakyat jelata. 

Belum lagi money politic dengan sangat liarnya disebarkan di setiap rumah-rumah warga, dan tempat-tempat perkumpulan warga dengan alasan uang transportasi, uang capek, uang konsumsi dan 1001 macam alasan untuk mengelabui pengawas Pemilu. Meskipun gerakan money politic telah sangat liar ditonton oleh publik tetapi sangatlah sedikit para pelaku penyebar money politic di tangkap. Padahal dalam UU No.10 Tahun 2016 pasal 187A menyebutkan larangan keras politik uang: 

1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu miliar rupiah). 

2. Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 

Begitupula dalam UU No.7 Tahun 2017 pasal 280 ayat (1) huruf j melarang praktek money politic, didalamnya menjelaskan "pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye Pemilu". 

Berbagai aturan hukum sudah diberlakukan untuk menekan tindakan kekurangan yang merusak tatanan demokrasi, tetapi fakta di lapangan ibarat aturan itu adalah buku yang tersusun rapi tapi tidak pernah dibaca bahkan dipraktekan. Pada akhirnya hanya orang-orang berduit banyak saja yang menjadi kepala daerah atau kepala negara, hukum rimba berlaku ketika hukum di negara ini hanyalah simbol dengan anggapan telah selesainya kewajiban para pembuat undang-undang tetapi lupa bahwa aturan ini akan efektif jika warga negara beserta segenap bangsa mempunyai kesadaran kolektif secara sungguh-sungguh dalam melaksanakan amanah dalam kebijakan tersebut. 

Negara ini diakui sebagai salah satunya negara terbesar yang menerapkan demokrasi tetapi gagal menegakan hukum karena yang terjadi adalah para penjahat demokrasi ingin memasung prinsip keadilan dan keberpihakan kepada kerakyatan dikubur hidup-hidup sampai terbenam di dasar bumi. Sungguh ironis negeri yang mempunyai banyak aturan dengan dibarengi pelanggaran aturan yang banyak pula. Ada orang bijak berkata "semakin banyak tukang kayu, semakin banyak pula kayu yang rusak", begitu pula dengan demokrasi ini banyak para elit mengkampanyekan perjuangan rakyat, keberpihakan kepada rakyat miskin, dan kepedulian terhadap rakyat tetapi itu hanya bullshit yang dimainkan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun