Darmin Hasirun
Dosen Administrasi Pemerintahan Daerah
Universitas Muslim Buton
Politik uang (money politic) ialah pemberian uang, atau barang, atau fasilitas tertentu, dan janji kepada para orang-orang tertentu agar seseorang dapat dipilih menjadi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah (Afan Gaffar dalam bukunya Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi).
Menurut pengamatan penulis, politik uang merupakan salah satu strategi yang cukup efektif digunakan oleh para calon kepala daerah untuk memenangkan diri dalam pemilihan kepala daerah saat masyarakat tidak lagi percaya dengan pemimpinnya, isu ini masih sering menjadi perbincangan hangat di masyarakat, pro dan kontra pun bermunculan, ada yang tidak suka dan ada pula yang masih menginginkannya.
Sosialisasi dan kampanye "anti money politik" yang selama ini didengungkan oleh pemerintah dan LSM menjadi bias dan terbantahkan oleh sikap sekelompok masyarakat yang masih haus dengan lembaran-lembaran uang itu, "siapa sih yang tidak suka dengan uang?" Itulah kalimat yang keluar dari mulut sebagian orang yang tidak merasa berdosa menerima uang dari para calon kepala daerah baik secara langsung maupun melalui tim suksesnya.
Money politic bukan hanya dialami oleh masyarakat sebagai pemilih, tetapi juga oknum-oknum dalam partai politik seperti yang diungkapkan oleh Direktur Advokasi Pukat UGM, Oce Madril bahwa pemberian mahar politik di Partai Politik adalah praktik money politic yang sulit terdeteksi dalam pemilihan kepala daerah. Artinya para calon kepala daerah tidaklah murni dicalonkan oleh partai politik tersebut, harus butuh uang untuk memuluskan ambisinya menjadi calon kepala daerah. Visi misi, program kerja dan strategi pembangunan yang dipaparkan dalam seleksi bakal calon KADA agar diusung oleh partai politik tersebut hanyalah sekedar formalitas untuk mengisi laporan kegiatan partai, tetapi dibalik itu ada praktek-praktek mafia berdasi dengan melihat siapa yang paling banyak kedekatan dan uangnya.
Masyarakat yang masih suka dengan politik uang, seperti terhipnotis oleh uang-uang yang mereka terima, sehingga hati nuraninya tidak lagi berfungsi hanya karena hitam pekat perilaku mereka oleh godaan uang-uang tersebut.
Memang susah menghapus budaya politik uang ketika masyarakat mulai meragukan kapasitas dan kepemimpinan para kandidat dalam memecahkan masalah daerah, disatu sisi para pemilih diwajibkan oleh negara untuk memilih pasangan calon kepala daerah sehingga muncul kalimat "daripada tidak memilih lebih baik memilih kandidat yang mempunyai banyak uang".
Dalam pandangan penulis, masyarakat yang masih suka dengan politik uang ibarat "Kupu-Kupu Malam atau Ikan Kering yang Siap Dibeli".