Mohon tunggu...
Darmin Hasirun
Darmin Hasirun Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis Agar Menjaga Nalar Sehat

Saya hobi menulis, menganalisis, membaca, dan travelling

Selanjutnya

Tutup

Politik

Di Balik Skenario Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang "Tunda Pemilu 2024"

12 Maret 2023   18:08 Diperbarui: 12 Maret 2023   19:04 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Darmin Hasirun

Dosen pada Program Studi Administrasi Pemerintahan Daerah

Universitas Muslim Buton

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia menemui tantangan baru dalam mempersiapkan penyelenggaraan Pemilu 2024, salah satunya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN. Jkt. Pst yang memenangkan gugatan dari Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) tentang status Partai Rakyat Adil Makmur yang tidak lolos sebagai peserta Pemilihan Umum 2024.

Didalam amar putusan Pengadilan Negeri di atas menyebutkan bahwa: "Menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan tujuh hari," seperti dikutip dari salinan putusan, Kamis, 2 Maret 2023.

Dikeluarkannya Putusan ini tentunya mengundang reaksi publik yang menilai ada keganjilan atas hasil sidang yang diputuskan oleh Majelis Hakim karena di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum maupun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tidak ada satupun pasal maupun ayat yang menyebutkan kewenangan Pengadilan Negeri untuk menunda Pemilu 2024 artinya Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah melampaui yuridiksi yang dimilikinya sehingga pelanggaran kewenangan (abuse of power) ini dianggap sebagai keputusan inkonstitusional.

Keputusan Majelis Hakim di PN Jakarta Pusat juga bertentangan dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan dan / atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) pasal 10 menyebutkan "pada saat peraturan Mahkamah Agung ini mulai berlaku, perkara perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang diajukan ke Pengadilan Negeri tetapi belum diperiksa, dilimpahkan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". Artinya pasal ini memerintahkan kepada majelis hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri agar tidak lagi mengadili perkara badan dan / atau pejabat pemerintahan karena telah dicabut kewenangannya dalam menyidangkan perkara tersebut, maka wajib dilimpahkan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pada pasal 11 juga kembali menegaskan bahwa "Perkara perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Negeri harus menyatakan tidak berwenang mengadili". Makna pasal ini adalah larangan bagi majelis hakim di tingkat Pengadilan Negeri untuk memutuskan perkara yang seharusnya merupakan yuridiksi dari majelis hakim di PTUN.

Apabila para hakim di tingkat Pengadilan Negeri melanggar ketentuan dari Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2019, maka seharusnya diberikan sanksi atas pelanggaran kode etik hakim yang telah diatur dalam Peraturan Bersama Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Dikeluarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjadikan pihak KPU RI melakukan banding ke Pengadilan Tinggi untuk membatalkan putusan yang dianggap inkonstitusional dan mencederai Konstitusi serta demokrasi yang selama ini dipelihara dalam menjaga kedaulatan rakyat.

Bahkan cara yang dilalui oleh Partai Rakyat Adil Makmur yang tidak lolos sebagai peserta Pemilihan Umum 2024 dengan melaporkan pengaduannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah cara yang tidak tepat sasaran karena sengketa proses Pemilu dalam masalah administrasi harusnya dilaporkan kepada Bawaslu sebagaimana terdapat pada UU No.7 Tahun 2017 pasal 467 ayat 1 berbunyi “Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, Keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota”. Kemudian jika partai PRIMA menolak hasil putusan Bawaslu, maka dapat mengajukannya ke PTUN untuk mendapatkan keputusan final dan mengikat.

Jika pihak Bawaslu RI tidak memberikan pelayanan atau ada didugaan melanggar kode etik pelayanan kepada pengurus Partai PRIMA, maka juga dapat melaporkan Bawaslu RI ke DKPP yang bertugas memeriksa dan memutuskan aduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggaran Pemilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun