Ada satu hal yang bakal mengejutkan dari strategi reformasi birokrasi yang dicanangkan Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi saat ini. Setidaknya itu yang saya dan teman-teman tangkap dari diskusi dengan Wamenpan Bidang Reformasi Birokrasi, Prof. Eko Prasojo, beberapa bulan yang lalu. (Bagaimana pertemuan dan diskusi tersebut terjadi saja juga mengejutkan. Kita, saya dan teman-teman Sekolah Strategi STAN, diminta datang pada kisaran pukul 6 pagi di Kantor Kemenpan, Jakarta. Dan saat satpam bilang Pak Eko belum datang, ternyata Pak Eko sudah berada di ruangan, yang artinya mendahului kedatangan si satpam tadi.) Satu hal yang terlupa dalam proses Reformasi tahun 1998 silam adalah reformasi birokrasi. Seperti yang Anda tahu, perubahan di bidang politik dan militer belum sempurna tanpa adanya perubahan di jajaran birokrasi. Menjadi krusial karena birokrasi adalah representasi konkret dari kebijakan pemerintah bagi rakyat. Tanpa birokrasi yang becus, penyelenggaraan kehidupan sehari-hari di masyarakat kita akan tidak begitu mulus terasa. Sehingga reformasi birokrasi memang menjadi kebutuhan negara kita yang mendesak, tanpa perlu momen apapun untuk melakukannya. Dari seluruh strategi utama reformasi birokrasi Kemenpan tersebut, ada satu yang cukup mengejutkan dan bernilai strategis: dimungkinkannya mutasi pejabat eksekutif senior (eselon 1 dan 2) ke seluruh Indonesia, lintas instansi, dan berbasis kompetensi. Alasan Pak Eko adalah untuk mereduksi kepentingan politik pada pemerintah daerah. Ditengarai cukup banyak pejabat eksekutif senior di pemda yang merupakan “jatah politis”. Jadi, ke depan, pejabat eselon 2 da 1 bisa moving ke manapun di Indonesia, di instansi manapun. Pengisian posisi pun direncanakan akan open bidding, terbuka bagi PNS manapun yang memiliki kompetensi dan syarat yang diperlukan. Saat diskusi berjalan, disadari bahwa strategi ini akan menemui kendala. Tentu bijaknya moving tersebut hanya dilakukan antar pemda, tidak melibatkan instansi vertikal. Lalu moving ini juga akan menemui benturan kapasitas yang tidak berimbang antar daerah. Saya tidak mengatakan kalau di Jawa itu pasti lebih bagus dari luar Jawa (karena saya pernah menemui lebih dari satu pejabat daerah di Pulau Jawa yang tidak mengetahui apa itu e-mail !!). Hambatan berikutnya tentu beban fiksal, ekonomis atau tidak, karena rencananya gaji dan tunjangan para pejabat itu akan ditanggung oleh pemerintah pusat. Nah, masukan saya tentu saja perlunya konsep dasar yang jelas terlebih dahulu tentang arah reformasi birokrasi. Tujuan direformasi, ingin birokrasi menjadi seperti apa? Itu yang perlu ditentukan dulu. Tentu tidak perlu muluk-muluk, yang penting konkret, jelas, dan bisa dimengerti oleh orang awam. Ketidakjelasan ini masih menghinggap karena saat ini ada 9 strategi besar reformasi birokrasi dari Kemenpan, dan tidak semuanya mengarah kepada muara besar yang sama. (Lain kali kita bahas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H