Seorang ibu baru saja meninggal, meninggalkan 2 anak laki-laki dan 1 perempuan, tidak diceritakan tentang bapak, sepertinya sudah meninggal sebelum ibu.
Anak pertama ibu almarhumah tersebut adalah seorang laki-laki bernama Andre, beristrikan Hesti. Anak kedua juga laki-laki bernama Wendi, beristrikan Shandy, sedangkan anak ketiga adalah seorang perempuan bernama Ayu yang belum menikah.
Hesti mengompori suaminya, Andre, agar Andre berhati-hati terhadap Wendi yang sepertinya berniat menguasai rumah warisan ibu karena memang selama ini Wendi masih tinggal di rumah tersebut bersama ibu. Hesti malah sempat berkata kepada Andre, "Bang, jual aja rumah ini agar nanti uangnya dibagi buat kalian bertiga."
Setuju dengan istrinya, Andre (berpenampilan baju muslim) menyampaikan saran Hesti kepada Wendi. Ayu pun setuju dengan Andre untuk menjual rumah warisan ibu. Wendi (berpenampilan baju muslim) menolak dengan berucap, "Bang, ibu baru saja meninggal, masa kita membicarakan rumah warisan sih?" Wendi pun mengingatkan Andre atas pesan almarhumah ibu yang meminta rumah tersebut jangan dijual, tetapi dijadikan rumah untuk anak-anaknya berkumpul.
Dengan kemasan komedi sketsa, pun dari dialog dan alurnya, penonton "diberi pesan" bahwa Wendi dizalimi oleh Andre dan Ayu yang memaksa Wendi menjual rumah warisan ibu.
Oleh karena premis ceritanya adalah Andre dan Ayu yang zalim, sedangkan Wendi yang jadi korban, cerita dilanjutkan dengan adegan Ayu menyita barang-barang berharga dari rumah warisan ibu tersebut karena Wendi tidak mau menjualnya untuk dibagi warisan.
Penebalan pesan Wendi menjadi korban dilanjutkan dengan adegan Andre yang menyantet Wendi beserta istri dan anaknya agar tidak betah dan pindah dari rumah tersebut.
Pertanyaan besar kita adalah, "Apakah sikap Wendi yang menolak menjual rumah warisan ibu dan tetap berpendirian tinggal di situ adalah benar?" Pertanyaan lain kita adalah, "Apakah pesan ibu (sebelum meninggal) agar rumah tidak dijual adalah benar?" Lalu, "Bagaimana mestinya yang benar?"
Secara ketentuan fiqih (mawaris), perpindahan hak milik harta bisa dilakukan lewat 3 cara, yaitu hibah, wasiat, dan waris. Saat hidup, kita dapat menghibahkan harta kita kepada siapa saja (termasuk calon ahli waris) dengan nominal/jumlahnya berapa saja (tidak ada batasan), status kepemilikan berpindah saat akad hibah terjadi.
Saat hidup, kita dapat mewasiatkan harta kita kepada selain calon ahli waris dengan nominal/jumlahnya maksimal 1/3 harta kita, status kepemilikan berpindah saat kita sudah meninggal.
Saat meninggal, harta kita bukan menjadi milik kita lagi karena sebagai orang meninggal, kita tidak mampu lagi mengelola harta kita di dunia. Allah SWT sudah menetapkan bahwa harta yang kita tinggalkan berpindah hak milik kepada para calon ahli waris, bisa ke istri, ke suami, ke anak, ke orang tua, atau kepada saudara kandung dan lainnya.
Kembali ke komedi sketsanya, diceritakan Wendi beserta istri dan anaknya sudah tinggal bersama ibu di rumah tersebut jauh sebelum ibu meninggal, tetapi tidak diceritakan bahwa ibu telah menghibahkan rumah tersebut kepada Wendi. Dengan kata lain, sebelum meninggal, ibu masih berstatus pemilik rumah tersebut. Saat ibu meninggal, otomatis status kepemilikannya berpindah ke Andre, Wendi, dan Ayu (sebagai pemilik bersama dengan saham kepemilikan seorang anak laki-laki adalah 2 kali dari saham anak perempuan), tidak hanya ke Wendi.
Andre dan Ayu yang sepakat menjual rumah warisan ibu memiliki persentase saham yang lebih besar (saham gabungan) daripada Wendi (saham sendirian) yang tidak mau menjualnya, tetapi malah ingin tetap tinggal di rumah tersebut. Berdasakan saham, sebenarnya posisi Wendi kalah sehingga harusnya rela menjual rumah warisan ibu. Jadi sikap Wendi tidaklah tepat menurut ketentuan fiqih mawaris yang sudah ditetapkan Allah SWT.
Saat diajak Andre menjual rumah warisan ibu, Wendi pun keberatan membicarakan warisan mengingat ibu mereka baru saja meninggal. Dalam fiqih mawaris, sebenarnya para calon ahli waris dituntut untuk segera mendiskusikan kepemilikan harta warisan (bagi waris), meskipun orang tua (pewaris) baru saja meninggal. Sebenarnya bagi waris tidak selalu harus menjual dan bagi-bagi uang, bagi waris adalah minimal sudah ada pemahaman di antara para ahli waris berapa saham yang dimiliki oleh masing-masing ahli waris atas harta warisan (rumah, tanah, kendaraan atau lainnya yang belum berbentu uang). Jadi, kedua kalinya sikap Wendi tidaklah tepat.
Lalu bagaimana dengan pesan ibu agar tidak menjual rumah tersebut? Sudah kita bahas sebelumnya bahwa saat meninggal, harta kita bukan menjadi milik kita lagi karena sebagai orang meninggal, kita tidak mampu lagi mengelola harta kita di dunia. Allah SWT sudah menetapkan bahwa harta yang kita tinggalkan berpindah hak milik kepada para calon ahli waris. Jadi pesan ibu tidaklah sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
Sebenarnya, Andre dan Ayu sudah benar meminta rumah dijual dan uangnya nanti dibagi ke mereka bertiga (Andre, Wendi, dan Ayu) sebagai ahli waris.
Wallaahu a'lam bishowaab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H