Mohon tunggu...
Darmawan bin Daskim
Darmawan bin Daskim Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang petualang mutasi

Pegawai negeri normal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lama Sudah Ada yang Ngatur, tapi Kenapa?

25 Februari 2021   16:30 Diperbarui: 25 Februari 2021   16:37 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tahun ke-4 Penulis bekerja sebagai kuli pemerintah barulah mendengar istilah gratifikasi. Tepatnya di tahun 2001 saat muncul Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam ingatan yang tersisa, saat itu beragam reaksi dari rekan-rekan kantor. Mungkin sebagian besar terganggu dengan aturan tersebut, termasuk Penulis. Meski sebenarnya hanya mendengar sekilas dari sekitar, tanpa pernah membacanya. Zaman itu internet belum sampai di genggaman tangan.

Bertahun-tahun menerima gratifikasi yang sebelumnya tidak tahu bahwa hadiah/pemberian/uang dari pengguna jasa itu ada julukannya “gratifikasi”, di tengah jalan ternyata ada aturan yang melarang. Tentunya sedikit banyak mengggangu kenyamanan.

Sebenarnya jauh sebelum tahun 2001, di tahun 1971 sudah ada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ternyata memang sudah melarang gratifikasi yang diterima oleh kuli pemerintah dari para pengguna jasanya. Tetapi istilah yang digunakan belum gratifikasi. Istilah yang ada adalah pemberian, hadiah, dan janji

Namun secara prinsip sama dilarangnya. Pada Pasal 1, Ayat (1), Huruf e tertulis “Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam Pasal-pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.” Kemudian Pasal 418 KUHP tertulis, “Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya hahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Tidak berbeda jauh dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pun masih belum menggunakan istilah gratifikasi. Pada Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tertulis, “Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)”.

Barulah pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi muncul istilah gratifikasi. Kata gratifikasi tertulis di Pasal 12B, Pasal 12C, Penjelasan Umum, dan Penjelasan Pasal 12B.

Dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 ada benang merah terkait gratifikasi, yaitu kata pemberian, hadiah, janji, pejabat, kekuasan, wewenang, dan jabatan.

Bahkan jauh sekitar 14 abad yang lalu, ternyata larangan kuli pemerintah menerima gratifikasi dari pengguna jasanya sudah ada. Belajar dari kisah Rosulullah SAW yang menugaskan salah satu sahabatnya sebagai pegawai negara yang bertugas memungut zakat. Mengutip dari sini, “Dalam hadits Muttafaq ‘alaih, suatu ketika Rasulullah SAW mengangkat karyawan untuk mengambil uang zakat yang bernama Ibnul Lutbiyah. Nabi SAW biasa mengutus orang ke berbagai wilayah. 

Salah satunya adalah Ibnul Lutbiyah. Ketika Ibnul Lutbiyah datang kepada Nabi SAW, beliau berkata, “Ini adalah uang shodaqoh dan yang ini adalah hadiah dari orang – orang untuk saya.”   Kalau dipikir secara logika sederhana, salahnya dimana? Toh orang lain itu memang berniat untuk memberikan hadiah kepada Ibnul Lutbiyah yang harusnya halal. Namun ternyata Nabi SAW bertanya seperti ini, “Kalau kamu hanya di rumah saja, tidak kemana – mana,  dan tidak menjadi pegawai zakat, kira – kira apakah kamu akan mendapat hadiah?” “Jelas tidak.” “Berarti kamu mendapat hadiah karena menarik zakat.”

Pertanyaan Rosulullah SAW kepada sahabat yang bertugas menarik zakat dan mendapat hadiah dari pembayar zakat ini sangat menarik karena beliau mempertegas bahwa hadiah yang diterima tersebut ada kaitannya dengan jabatan sahabat tersebut sebagai pemungut zakat. Hadiah semacam itu kini dikenal dengan julukan gratifikasi yang sedang kita bahas kali ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun